Wednesday, December 29, 2010

NASEHAT-NASEHAT BUAT PARA MUJAHIDIN

NASEHAT-NASEHAT BUAT PARA MUJAHIDIN

1. Inilah Contoh-contoh Para Mujahidin di Zaman Tertindas, tirulah Mereka…
Banyak sekali kaum muslimin yang sedih menyesalkan berlalunya hari-hari kejayaan Islam dan perginya para pahlawan dari kalangan para salafus sholeh. Namun, sedikit saja dari mereka yang mengerti bahwa dirinya sebenarnya juga sedang berada satu zaman dengan para pahlawan yang menorehkan gambaran sejarah yang luhur, di mana mereka tidak kalah kemuliaan dan keberaniaannya dari para pendahulu. Yang membedakan mereka dengan orang-orang terdahulu barangkali hanya karena orang dahulu mendapat pertolongan dan bantuan lebih besar dari yang diperoleh para pahlawan kita hari ini.
Boleh dibilang, pada dua dekade terakhir ini, umat Islam telah mengenal orang-orang generasi belakangan yang menjadi contoh tauladan, di mana sudah selayaknya bagi para pengikut gerakan Islam untuk mengupasnya untuk kemudian mengikuti jejaknya, sampai nantinya kaum muslimin memperoleh kemenangan nyata dengan izin Alloh.
Seolah, keberhasilan serangan di New York (11 September) yang begitu jelas menyatakan kepada seluruh dunia tentang eksistensi para mujahidin di zaman sekarang yang kisahnya bak generasi awal umat.
Para pelakunya adalah anak-anak yang masih terbilang muda dengan skil tekhnik tinggi, mereka berhasil mengemudikan pesawat-pesawat dan melakukan serangan dengan cara paling mengagumkan. Mereka tampil begitu rapi dan melaksanakan programnya dengan sangat detail. Dan di saat yang sama, mereka siap mengorbankan nyawanya di jalan Alloh demi mengembalikan harga diri Umat Islam.
Yang jelas, sebelum teman sendiri, musuh sudah mengakui bahwa mujahid-mujahid itu memiliki pengetahuan tinggi tentang tekhnologi modern. Karena mereka menggunakan alat komunikasi tercanggih, seperti telepon yang memanfaatkan stasiun angkasa luar, memakai internet dengan sandi-sandi tertentu, yang di dalamnya mereka menggunakan tekhnik lain dalam bidang ini seperti teknik “Steganography”. Dan masih banyak lagi tekhnik modern lain yang mampu menghancurkan gambar karikatur tentang minyak, yang oleh musuh sengaja dialamatkan kepada mujahidin (untuk menunjukkan mereka terbelakang dalam urusan teknologi, pent.)
Saya tidak akan mengetengahkan di sini tentang para mujahidin utama, yang berperan sebagai perencana, pengatur, dan yang memiliki keutamaan –setelah anugerah Alloh—berupa peran dalam “memandaikan” pohon jihad dan melanggengkan perjalannya, jalannya tertib dan tujuan-tujuannya terfokus.
Akan tetapi, saya akan mengetahkan para mujahidin yang terjun langsung di lapangan, yang telah membuat banyak sekali contoh pengorbanan.
Dari sekian contoh unik di dekade terakhir yang menarik perhatianku –saya menyebutnya hanya sebagai salah satu contoh dan bukan membatasi—disebabkan ia memberikan model baru dalam tekhnik berjihad di jalan Alloh, adalah sang pahlawan terkemuka, yang tidak susah kita kenali, yaitu Ir. Yahya ‘Ayyasy. Satu lagi adalah, sosok yang berambut masai dan berdebu, yang lahir dari kepahlawanan Islam, hampir tidak satu pun yang mengenal kelebihannya, tetapi ia juga salah satu dari mujahid yang memakai cara unik, yaitu Romzi Yusuf.
Setelah melakukan penelitian singkat, jelas terlihat bahwa di sana ada beberapa perbedaan, baik dari sisi kepribadian mau pun bidang kemampuan, antara para pahlawan itu. Akan tetapi, dalam pandangan saya, ada karakter-karakter yang sama dalam diri jiwa-jiwa pahlawan itu, yaitu: berani, jenius, teliti, dan melakukan langkah-langkah keamanan yang maksimal.
Itulah kondisi dari Ir. Yahya ‘Ayyasy, yang bisa dibilang sebagai arsitek utama lahirnya operasi-operasi mati syahid di tanah Palestina yang terjajah. Asy-syahid Rohimahulloh berhasil membuat penemuan canggih dalam mengatur orang-orang yang menjadi anggota Batalyon Jihad: Izzuddin Al-Qossam. Model operasi jihad yang ia temukan dan ia teliti belum pernah dikenal oleh orang-orang Zionis, baik itu berupa ranjau mobil, atau tas dan tubuh yang berisi bahan peledak. Pertama kali yang menemukan semua ini adalah Yahya Ayyasy, dia tahu bagaimana memanfaatkan sebaik mungkin latar belakangnya dalam ilmu fisika. Yang semakin membuat kaum Zionis jengkel adalah kepekaannya dalam urusan keamanan, yang pada gilirannya ia begitu mahir untuk melarikan diri dan bersembunyi, walau pun dia menjadi buron kelas wahid bagi pemerintah penjajah Zionis. Ini karena kecanggihannya yang membingungkan orang dan kemampuannya untuk lari dan mencebol celah, dan mencapai target-target sasaran.
Begitulah, sang insinyur terus menyerang dan menggempur kaum Zionis selama tiga tahun di tengah kondisi berbahaya, dan ditengah perburuan yang diikuti oleh ribuan aparat keamanan Syabak dan kesatuan intelejent khusus, ditambah dengan kesatuan tentara zionis, kekuatan pengamanan perbatasan, dan polisi zionis, di mana mereka tidak terpaling oleh kesibukan lain selain melakukan perburuan yang meluas terhadap buronan nomor satu itu. Semua ini justeru membuat Yahya ‘Ayyasy sebagai pahlawan. Meski pun ia telah menemui syahid, semoga Alloh merahmatinya, setelah dikhianati salah satu orang dekatnya yang menyerahkan telpon genggamnya kepada pihak intelejent zionis yang kemudian meledak, tetapi rasa takut di fihak zionis masih belum habis selama tekhnik yang dibuat sang insinyur dan operasi serangan mati syahid masih ada. Dan itu semua menjadi jejak peninggalan yang kita masih memakainya untuk melakukan serangan hingga hari ini.
Akan tetapi, mujahid Pakistan Romzi Yusuf (namanya dalam dunia gerakan, nama aslinya adalah Abdul Basith Karim) berbeda dengan Ir. Yahya ‘Ayyasy. Di mana, biasanya ia bekerja seorang diri, sementara insinyur berjuang dalam sebuah organisasi yang kuat, yaitu Batalyon Izzuddin Al-Qossam. Tapi, keduanya memiliki beberapa kesamaan.
Romzi Yusuf juga orang yang kepribadian dan etos kerjanya. Ia juga memiliki latar belakang akademis, tapi dalam ilmu kimia, dan dia memperolehnya dari perguruan tinggi di Inggris. Ini menjadikan dirinya pakar dalam peran yang ia ambil dalam jihad setelah ia mengikuti pelatihan militer yang diadakan mujahidin di Afghanistan di akhir-akhir tahun 80-an, yang menjadikannya harus tegas dalam memilih jalan hidupnya, sebab ia tahu betul arah di masa depan yang harus ia tuju. Dengan bekal ilmu akademiknya, ia berhasil mengambil peran di garis depan dan menjadi seorang pelatih di kamp-kamp latihan. Di saat yang sama, ia terus melengkapi studinya di perguruan tinggi Inggris.
Pasca jatuhnya Kabul (ke tangan mujahidin) dan terjadinya berbagai fitnah setelahnya, di mana Amerika turut mengambil peranan besar dalam menyulut apinya, Romzi mengambil keputusan untuk pergi ke negeri pangkal kekafiran, Amerika, untuk melakukan operasi dahsyat yang membuat Amerika tersungkur.
Ia mulai menyusun rencana operasi untuk meruntuhkan gedung WTC. Kemudian di pagi hari tanggal 26 Februari 1993, sebuah truk penuh bermuatan bom meledak di komplek WTC New York. Operasi itu mengguncangkan salah satu bangunan WTC yang memiliki 120 tingkat dan merupakan simbol kekayaan serta kekuatan Amerika. Sejak itu, runtuhlah legenda keamanan bagi rakyat Amerika dari serangan-serangan di dalam negeri. Hasilnya, 6 orang tewas dan 1042 lainnya luka-luka. Ini adalah jumlah terbesar pasien yang pernah ditangani oleh rumah sakit yang ada dalam satu kali kejadian sejak perang saudara yang mengguncang Amerika dan sebelum serangan 11 September.
Pihak pemadam kebakaran New York mengirim 750 mobil pemadam menuju gedung WTC dan terus berada di sana selama lebih dari satu bulan. Ini menunjukkan betapa besar kerugian yang diderita. Meski demikian, kerugian itu tidak sebesar yang diharapkan oleh Romzi Yusuf. Sebab, operasi itu ditargetkan bisa menghancurkan gedung WTC secara total dan paling tidak korban yang jatuh bisa mendekati angka seperempat juta orang. Semua ini dikarenakan campur tangan Amerika dalam urusan darah kaum muslimin secara berulang-ulang.
Kesalahan bukan terletak pada perakitan bahan peledak. Sebab, Romzi Yusuf dikenal sebagai orang yang teliti. Bom yang ia targetkan untuk meledakkan gedung WTC itu termasuk lain daripada yang lain, sampai-sampai dinas FBI hanya menemukan satu bom yang sama dengan itu setelah mempelajari 73.000 dokumen tentang peristiwa peledakan di Amerika sejak tahun 1925. FBI bahkan sampai pada kesimpulan, bahwa bom ini adalah yang terbesar dan terberat dan paling dahsyat efek hancurnya dari bom-bom yang pernah ada dalam sejarah Amerika Serikat. Dan memang begitu faktanya, bom-bom yang paling besar saja hanya berkecepatan 3.000 kaki/detik, tapi bom bikinan Romzi Yusuf berkecepatan 15.000 kaki/detik. Ini adalah kecepatan sangat kuat yang mampu meruntuhkan gedung WTC sejak dari atap teratasnya kalau saja truk itu diletakkan di tempat lain, yaitu di bawah salah satu tiang penyangga. Bahkan, di tempat meledaknya truk itu pun, mungkin ribuan orang akan terbunuh seandainya truk itu meledak sesaat sebelum waktu sore hari ketika para pegawai sedang keluar untuk pulang.
Belum tiba sore harinya, Romzi Yusuf sudah menaiki pesawat menuju Pakistan. Kalau bukan kesalahan keamanan yang dilakukan oleh sebagian pembantu dalam operasi tersebut, sampai hari ini mungkin Amerika tidak akan tahu siapa yang bertanggung jawab atas serangan itu. Dan meskipun dua bulan kemudian Amerika berhasil mengendus keterlibatannya dalam aksi ini, tapi para kaki tangan aparatnya tidak mampu menemukan data apapun selain sekilas tentang biografi dirinya.
Romzi Yusuf memang sangat hati-hati, fihak FBI menghabiskan waktu beratus-ratus jam dalam menyelidiki bagian dalam pesawat-pesawat yang menuju Pakistan, tapi semuanya tanpa hasil.
Perburuan Amerika dan internasional itu tidak membuat Romzi kecut nyali, sehingga ia mundur atau berhenti. Sebab, tak lama kemudian ia kembali merencanakan operasi-operasi berani yang belum pernah ada contoh sebelumnya dalam hal keberanian dan metode yang digunakan. Dalam masa perburuan itu, ia kembali mencoba membunuh Benazir Butho, meledakkan Kedutaan Zionis di Bangkok tanggal 11 Maret 1994, mencoba membunuh Bill Clinton di Manila pada 12 November 1994, ia bahkan juga menjadi perancang peledakan 11 pesawat Amerika yang menyebabkan ratusan warga Amerika terbunuh dan kerugian perusahaan penerbangan Amerika, ini tidak bisa dibantah.
Kebanyakan operasi ini tidak berhasil disebabkan kesalahan sebagian anggota baru yang ikut dalam operasi. Contohnya dalam peledakan truk untuk menghancurkan gedung Kedutaan Zionis, bom yang disiapkan sebenarnya sudah cukup bagus, tapi pengemudi truknya, seorang muslim warga Thailand, yang sedianya harus menghentikan truk di samping gedung kedutaan malah mengalami kerusakan mesin, sehingga ia kabur dan meninggalkan truk.
Demikian juga dalam rencana peledakan pesawat-pesawat Amerika, dari sisi tekhnis sudah sangat teliti, di mana Romzi ditugasi untuk menanganinya. Dalam hal ini, Romzi menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengubah materi Nitro Gliserin yang daya ledaknya kuat menjadi benda cair semi padat (gel). Untuk bisa melakukannya, ia memakai materi Sulfur Acid, Nitrid Acid, Aseton, dan Acid yang sudah terurai, khususnya Nitrobenzin.
Begitulah, setelah bekerja sangat pelan-pelan, ia berhasil membuat bom yang siap dibawa dan memiliki efek ledak sangat kuat, di mana itu tidak akan mungkin bisa diungkap walau pun menggunakan bantuan sinar X. Baterai 9 volt adalah satu-satunya bahan mengandung besi yang bisa dideteksi dengan sinar X. Makanya, Yusuf meletakkan baterai itu di bawah sepatunya, sehingga sangat sulit –kalau bukan dibilang mustahil—untuk dideteksi. Ia sudah melakukan percobaan yang berhasil dengan membawa bahan seperti itu di dalam maskapai penerbangan Jepang pada bulan Desember 1994, ini menjadi bukti betapa cekatan dan teliti pembuatnya.
Di samping keberanian dan skill luar biasa ini, kehati-hatiannya dalam hal keamanan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sang pahlawan. Pernah Romzi Yusuf memalsukan KTP sebanyak 12 kali ketika ia tinggal di Filiphina, dengan identitas dan nama berbeda-beda, dan dengan foto yang bergonta-ganti penampilan dengan pergantian yang ekstrim.
Kepolisisan Filiphina pernah mencoba menangkapnya, akan tetapi mereka tidak berhasil, padahal mereka sudah mengerahkan tentaranya secara total dan membagi-bagikan fotonya di tempat-tempat umum. Hal ini tidak kemudian membuat dirinya kendur untuk menghentikan amal. Ia bahkan turut memberikan andil dalam merubah kelompok Abu Sayaf dari yang tadinya kelompok “kacangan” menjadi organisasi perang yang sangat professional. Ramzi tinggal bersama mereka selama beberapa pekan dan selama itu ia melatih orang-orang terbaik dari kelompok tersebut untuk merakit bom yang memiliki efek ledak yang hebat.
Alloh menakdirkan terjadinya miss ketika merakit salah satu bom, dan ini adalah hal yang lazim terjadi mengingat bahan-bahan kimia itu sangat sensitif. Hanya, kejadian ini membuat aparat kepolisian Filiphina berhasil mengendus tempat tinggalnya di Manila. Maka terpaksa untuk kali ini ia lari dan ia meninggalkan komputer jinjingnya di apartemen yang ia sewa. Setelah itu fihak kepolisian Filiphina menyerahkan hard disk komputer itu kepada FBI, tetapi pakar-pakar intelejent Amerika tidak mampu mendapatkan data yang tersimpan di dalamnya kecuali setelah melewati waktu yang cukup lama dan setelah bekerja sama dengan ahli komputer terhebat dari perusahaan Microsoft. Ini menunjukkan, betapa Romzi Yusuf sangat berhati-hati.
Sebagaimana dinyatakan seorang hakim, Kevin Dafi, Romzi Yusuf adalah teroris paling berbahaya di dunia sejak tahun 1970. Tidak ada yang menyamainya dalam modus operandi selain Carlos. Romzi belum berhasil ditangkap kecuali setelah terjadinya pengkhianatan dari salah seorang penunjuk jalannya. Akan tetapi semua itu setelah ia mengerahkan segala upaya untuk sampai ke sasaran yang sudah ia catat.
Sungguh saya membayangkan betapa gembiranya di dalam tahanan sana (semoga Alloh membebaskannya) melihat keberhasilan serangan 11 September dan bagaimana saudara-saudaranya menyelesaikan apa yang sudah dia rencanakan dulu.
Para pahlawan hari ini belum mampu melakukan amaliyah secara beruntun dan kontinyu. Makanya, dekade 90-an mengenal para pahlawan yang mampu membuat satu operasi cukup bagus, namun mereka tidak dikenang dan kebanyakan orang tidak mendengar beritanya. Inilah kondisi yang dialami seorang pahlawan, Amir Khonizi, di mana ia melakukan serangan berani terhadap Perwakilan Intelejent Amerika (CIA) tahun 1994. Dalam peristiwa itu, 3 orang kaki tangan CIA tewas, beberapa orang yang ada di depan gedung mengalami luka-luka, ini terjadi di Langley, Virginia. Tempat ini termasuk tempat yang paling ketat penjagaannya di dunia. Tak lama setelah amaliyah, Amir Khonizi lari dengan tenang menuju Pakistan, ia berhasil lolos dari beberapa jeratan yang dipasang intelejent Amerika untuknya. Hal itu ia lakukan dengan melakukan penyamaran dan berganti-ganti penampilan selam bertahun-tahun, sebelum akhirnya ia tertangkap oleh aparat intelejent Pakistan, setelah ia begitu gencar diburu.
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari para pemberani itu adalah, mereka mau berangkat untuk memerangi kekuatan paling angkuh dan paling solid kekuatannya di dalam negeri mereka sendiri, dalam pertempuran tak berimbang, tanpa takut dan gentar. Sebagaimana juga jelas, bahwa mereka tidak pernah meremehkan berjalannya sunnatulloh yang berlaku di alam semesta ini, mereka melakukan persiapan cukup ketika akan melakukan amaliyah. Termasuk pelajaran penting lainnya, kehati-hatian dalam urusan keamanan harus mendapat perhatian ekstra. Maka dari itu, wajib bagi setiap pejuang bagi agama Alloh untuk menempuh semua prosedur keamanan semaksimal mungkin dalam kegiatan sehari-hari, baik dalam berkomunikasi, mengadakan pertemuan, melakukan perjalanan, dll, serta menempuh standar kelayakan dalam pekerjaan mereka. Ini bukan dalam rangka lari dari takdir Alloh, akan tetapi dalam rangka melakukan operasi yang pelan tapi terus berkesinambungan, sebagaimana yang disukai Alloh SWT, di mana Dia telah mewajibkan kita agar teliti dalam segala hal.
Barangkali, sebagian orang yang lemah jiwanya berpendapat lain, yaitu menganggap operasi-operasi jihad itu tidak memberikan keuntungan yang bisa diperhitungkan. Mereka lupa, bahwa sekedar menjebol tembok ketakutan kaum muslimin dan membuat mereka berani melawan musuhnya itu sudah merupakan satu keuntungan besar, di mana itu akan mendorong putera-putera umat ini untuk menempuh jalan yang benar.
Provokasi Amerika, ditambah kebengisan Zionis, dan arogansi penguasa-penguasa yang menjadi kaki tangan mereka, di sisi lain semakin meningkatnya pengalaman jihad, merupakan sarana yang akan menyiapkan lahirnya generasi mujahid baru, yang mampu memenuhi kriteria-kriteria kepahlawanan yang tidak pernah ada tandingannya sejak kurun waktu lama. Hegemoni Amerika dan strategi keamanan global dan kediktatoran yang mereka paksakan tidak akan mampu berbuat banyak di hadapan sekelompok kecil mujahid ini. Sebab, para pahlawan itu –secara umum— memiliki kelebihan untuk: berpenampilan domba, walau pun aslinya serigala, tentunya setelah bertawakkal kepada Alloh dan menempuh sunnatulloh yang berlaku di alam semesta ini.
2. Mengenali Cara-cara Kaum Munafik dan Provokator Dalam Mempengaruhi Manusia untuk Menjauhi Kebenaran, Dulu dan Sekarang
Banyak sekali kesempatan di mana manusia tidak mau mengikuti kebenaran karena hawa nafsu dan beratnya beban yang harus dipikul untuk tetap teguh di atas kebenaran.
Akan tetapi, dari sekian kesempatan ini sedikit saja dari mereka yang mau mengakui kalau dirinya tidak mengikuti kebenaran. Orang-orang yang tidak mau mengikuti kebenaran itu harus menutupi hawanafsu dan kelemahan ini dengan berbagai bentuk pembenaran, di mana dengan itu mereka mencoba meyakinkan manusia bahwa tidak ikutnya mereka dalam kebenaran tersebut adalah lantaran sebab-sebab yang tepat.
Maka, langkah pertama mereka adalah mendatangi kebenaran itu untuk mencela dan mengkaburkan hakikatnya, atau membesar-besarkan sisi negatifnya daripada hakikat-hakikat yang sudah jelas.
Al-Quranul Karim telah mengupas untuk kita cara-cara seperti ini dengan sebaik-baiknya. Al-Quran menelanjangi cara-cara itu untuk kita, supaya kita berada di atas ilmu dan cahaya dalam melihat tipudaya nafsu itu, dan untuk mengajari kita bahwa usaha mereka itu tetap akan terlihat dan tidak mungkin tertutupi, dan walau pun ia ditutupi dengan tutup rapat sekalipun, pada hakikatnya itu adalah tutup semu dan terlihat apa yang ada di baliknya serta gamblang apa yang ada di belakangnya bagi orang yagnn mau memperhatikan dengan seksama dan tidak tertipu oleh penampilan-penampilan lahiriyah.
Pada firman Alloh Ta‘ala tentang orang-orang munafik dalam surat pertama yang kita baca, kisah mereka disebutkan:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang beriman,” mereka mengatakan, “Apakah kami akan beriman seperti berimannya orang-orang bodoh itu?” ketahuilah, sesungguhnya merekalah yang bodoh akan tetapi mereka tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Baqoroh: 13)
Ayat ini begitu besar dalam mengungkap kemunafikan dan orang-orang munafik, dan bagaimana cara mereka menjauhkan orang dari kebenaran. Setiap kali saya mendengar atau membaca ayat ini, langsung terbayang di benakku orang-orang munafik yang telah melewati sejarah Islam hingga zaman kita sekarang, yang mengaku memiliki pemahaman tajam, akal yang lurus, pengetahuan yang besar terhadap beberapa kasus yang harus ditangani dan diselesaikan, dan dengan klaim ini mereka mengejek mujahidin dengan tuduhan berwawasan sempit, sedikit ilmu, dan pemahaman rendah. Dengan sebab inilah mereka menghalangi orang dari kebenaran, karena itu mudah dilakukan. Lantas mereka mengagungkan perbuatan munafik daripada kebenaran karena kebenaran itu adalah kebenaran yang realistis dan memberikan pengaruh dalam dunia nyata.
Dalam sejarah, dikenal para filosof yang mengupas setiap berita yang mereka bukan pelakunya. Mereka mempelajari sejarah sementara mereka berada di luar dari gerakan-gerakannya. Makanya, sangat jarang kita temukan seorang filosof yang mampu menjadi komandan militer, atau pengatur yang sukses, atau politikus ulung. Sampai-sampai dalam istilah para pengkaji ilmu terkenal istilah: filosof tidak cocok berpolitik, tidak cocok menjadi komandan. Maka, selalu ada pemisahan; filosuf dan komandan, filosuf dan administrator, filosuf dan politikus.
Penyebabnya jelas, karena filosuf hidup dalam imajinasi otaknya, dengan sayap pemikirannya ia terbang di atas awan, ia tidak pandai berjalan di atas tanah sebagai layaknya manusia.
Gap ini terjadi di alam kehidupan manusia, buktinya betapa banyak kita dengan para komandan militer, atau politikus, yang mengeluhkan pemikiran-pemikiran para filosof dan kaum rasionalis.
Dalam dunia Islam, baik dalam sejarah mau pun yang terjadi sekarang:
Al-Quran menyebut orang-orang seperti itu sebagai munafik, dan mengatakan kepada mereka, “Berimanlah sebagaimana manusia beriman…”
Perhatikan firman Alloh Ta‘ala, “…sebagaimana manusia beriman,” keimanan di sini adalah keimanan yang memiliki satu gambaran, satu hakikat, di mana semua manusia pada umumnya menyadarinya sebagai satu hakikat yang intinya tidak berbeda-beda dengan fitrah yang mereka miliki. Wahai kalian, berimanlah sebagaimana manusia beriman, inilah yang Aku ridhoi atas kalian, inilah perintah-Ku kepada kalian, jangan berlebih-lebihan, jangan memperdalam suatu masalah hingga batas tak wajar dan dimurkai, berimanlah seperti Bilal beriman, seperti Yasir beriman, seperti orang badui dan orang kota beriman. Yang jika kamu menanyai mereka tentang iman, maka pertama kali jawaban mereka adalah: Iman itu sesuatu yang kalian sendiri sudah tahu, lantas mengapa kalian menutup-nutupinya. Iman adalah pembakar hati kalian dengan energi panasnya, lantas mengapa kalian tidak mengakuinya?
Dalam hal ini, kalian mesti ingat perintah Alloh Ta‘ala kepada kaum yahudi, “Sesungguhnya Alloh telah memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina…”
Orang beriman tidak pantas mendetail-detailkan masalah (di luar kewajaran), tidak melakukan manipulasi untuk menutupi fakta sesungguhnya, tidak sibuk dengan garis batas dengan melupakan sesuatu yang dibatasi (yakni, sibuk dengan lafadz tapi lupa dengan kandungan hakikatnya), sibuk dengan nama tapi melupakan benda yang dinamai. Kalau orang beriman, ia akan faham dari perintah tadi, bahwa ia harus bergerak untuk menyembelih seekor sapi betina. Adapun kata “menyembelih” itu punya makna khusus, punya penerapan khusus, dan ada bukti penguat lain dari perkataan para penyair, maka ini tidak mungkin terlintas dalam fikirannya pertama kali. Tapi yang pertama tertanam dalam hatinya adalah, kehendak untuk bergerak demi melaksanakan perintah, yaitu menyembelih sapi betina.
Begitulah orang beriman menerima perintah Alloh Ta‘ala, ia menerimanya untuk mengamalkannya, ketika mengamalkan itulah ia akan merasakan manisnya iman dalam hatinya, cahaya ilmu dalam jiwanya semakin terang, dan Alloh bukakan baginya pengetahuan-pengetahuan yang akan memperkuat hubungannya dengan Alloh Ta‘ala.
Adapun kaum yahudi, orang-orang yang dungu dan bodoh itu, maka lain bentuk perintah itu ketika jatuh kepada mereka. Mereka akan mengatakan, “Ini adalah perintah yang bagus, tapi kami akan menerapkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan yang difahami orang pada umumnya. Hanya orang-orang polos yang memahami bahwa sapi betina di sini adalah benar-benar sapi betina. Padahal, mungkinkan semua sapi betina cocok untuk pelaksanaan perintah Alloh ini? Maka dari itu, mari kita tanyakan, sapi betina yang bagaimana?”
Saat itu, orang-orang yahudi hidup di tengah seorang nabi yang menerima wahyu, lalu mereka saling mendebat dan berbincang seputar ciri sapi betina itu. Namun, marilah kita ilustrasikan bahwa orang-orang yahudi itu hidup tanpa adanya seorang nabi. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Alloh memerintahkan kepada kalian untuk menyembelih seekor sapi betina…”, lantas apa kira-kira yang akan dikatakan oleh para pemutar balik fakta itu (atau as-sufahaa’ / orang-orang bodoh dalam istilah Al-Quran)? Bisa dipastikan mereka hanya duduk di hadapan perintah tersebut, lalu menyimpangkan makna dan mentakwilkan hakikat pertama, supaya mereka bisa beralasan untuk tidak beramal dan melaksanakan perintah. Tetapi, setiap kali seseorang jauh dari hakikat pertama yang menempel di otaknya, mau tidak mau ia akan semakin merasa capek dan payah. Ketika yahudi semakin menambah pertanyaan, urusannya jadi semakin rumit bagi mereka, akhirnya: “…mereka menyembelihnya, dan hampir saja mereka tidak melaksanakannya.”
Dikatakan kepada orang-orang itu, “Berimanlah sebagaimana manusia telah beriman…”
Mereka mengatakan, “…apakah kami mau beriman seperti orang-orang bodoh itu beriman?”
Sebagaimana anda lihat, saudaraku fillah, ayat ini menunjukkan dua makna:
Pertama: Mereka menolak mengikuti kebenaran karena orang-orang lemah dan kaum fakir miskin mendahului mereka dalam beriman. Maka jiwa mereka yang kotor merasa terlecehkan jika disejajarkan dengan orang-orang itu, di mana Alloh telah muliakan mereka dengan cahaya iman dan nyamannya rasa yakin. Maka, mereka menolak iman dan menghindarinya. Sebelumnya sudah nampak dari diri mereka indikasi kesombongan seperti ini, yaitu ketika mereka meminta kepada Rosululloh SAW untuk membuatkan majelis tersendiri, atau majelis khusus bagi mereka untuk mengkaji Islam dan Iman. Tapi ketika beliau berkeinginan dan condong menuruti kemauan mereka karena menginginkan mereka mendapatkan hidayah, Alloh Ta‘ala menegur beliau, firman-Nya:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Robbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Robbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (QS. Al-Kahfi: 28 – 29)
Begitulah Alloh mencabut kemampuan dalam diri mereka untuk menghargai kebenaran, sebab kebenaran sendiri sudah terkandung kekuatan di dalamnya. Sebab ia bersumber dari Alloh Ta‘ala,

“Dan katakanlah (Muhammad): kebenaran itu datangnya dari Robbmu…”
… artinya, kebenaran itu tidak semakin kuat dengan menerimanya kalian, dan tidak melemah dengan berpalingnya kalian. Kebenaran sudah dengan sendirinya mengandung kekuatan, sebab ia berasal dari Alloh Ta‘ala, dan kalianlah yang akan mengambil manfaat darinya, bukan kebenaran yang mengambil manfaat dari kalian.
Kedua: Mereka terlalu menganggap dirinya lebih mengerti hakikat sesuatu dalam bentuk pertamanya, tanpa takwil yang menghapus hakikatnya. Akibatnya, mereka mencela pemahaman pertama yang difahami orang pada umumnya, dengan alasan bahwa pemahaman itu adalah pemahaman orang awam, cara yang tidak pantas ditempuh oleh akal mereka yang agung menurut mereka. Maka ketika mereka sibuk melakukan takwil yang dalam dan penelitian yang rusak, mereka kehilangan cahaya iman, di mana iman itu tidak akan bersemayam di dalam hati dan hati tidak akan merasakannya kecuali setelah adanya penerimaan dan pembenaran. Dan ketika itulah syetan mulai menyeret mereka kepada syubhat-syubhat logika, akhirnya akal mereka jadi rusak.
Yang masuk ke dalam makna pertama adalah para pemegang kedudukan dan harta, yang menolak menerima kebenaran karena orang awam mengikutinya. Mereka adalah pengikut hawa nafsu (syahwat).
Sedangkan yang masuk makna kedua adalah para pemutar balik fakta, para penyeru sikap mendetail-detailkan masalah di luar kewajaran dan kaum rasionalis. Mereka adalah para pengikut syubhat. Mereka ini juga masuk dalam pernyataan pertama,

“Dan di antara manusia ada yang mengatakan, kami beriman keapda Alloh dan hari Akhir, padahal mereka tidak beriman. Mereka menipu Alloh dan orang-orang beriman, padahal tidaklah mereka menipu selain diri mereka sendiri tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Baqoroh: 8, 9)
Inilah permasalahannya: permasalahan orang-orang yang lelah dengan pekerjaan dan dipayahkan oleh banyaknya pengikut. Mereka mengira ketinggian di dunia itu dengan adanya materi dan nilai kehormatan. Namun, hendaknya mereka ingat bahwa kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang fakir.
Mereka juga harus ingat, bahwa pemikiran selain mereka ada yang lebih besar, hanya saja sejarah tidak akan mencatat selain kisah orang-orang yang berbuat nyata. Ya Alloh, jadikan kami salah satu dari mereka.
Berapa besarkah keagungan Islam ini sebenarnya? Sehingga, berapa pula orang-orang besar yang ia butuhkan untuk mengangkat kedudukannya di dunia ini?!!
Ketika tertanam dalam diri seorang mukmin bahwa ia wajib mengorbankan nyawanya demi membela agama ini, maka ia punya kewajiban berikutnya, yaitu memahami dengan benar bahwa sunnatulloh tidak akan meninggalkan siapa pun. Sunnatulloh tidak akan berubah hanya karena kepribadiannya yang baik.

“(Pahala dari Alloh) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu …” (QS. An-Nisa;’: 123)
Jadi, sunnah-sunnah Alloh itu menjadi penentu bagi seluruh umat manusia, baik yang beriman mau pun yang kafir. Alangkah agungnya perkataan Ibnu Taimiyah Rohimahulloh Ta‘ala ketika ia berkata, “Sesungguhnya Alloh benar-benar akan memenangkan negara kafir yang adil dan melanggengkannya, dan Alloh akan mengalahkan negara muslim yang dzolim dan memusnahkannya.”
Ini termasuk pemahaman beliau yang sempurna. Karena, keadilan adalah pilar utama kerajaan. Dengan ini kita tahu bahwa sunnatulloh itu akan berjalan dengan pengaturan Alloh, walau pun semua manusia tidak mau menerima. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Jika kamu (orang-orang beriman) merasa sakit, maka mereka (orang-orang kafir) juga merasa sakit, hanya saja kalian berharap kepada Alloh yang mereka tidak mengharapnya…” (QS. An-Nisa’: 104)
Jadi, orang Islam juga akan merasakan kesakitan dan merasakan sunnah-sunnah Alloh yang terjadi pada manusia umumnya. Sunnatulloh itu tidak akan berubah hanya karena alasan niat baik seorang muslim, atau maksud dan tujuannya yang mulia. Hal ini masuk dalam syarat sebuah amal disebut sholeh (yaitu mengikuti sunnah dan tidak menentangnya). Sebab, di antara syarat amal sholeh adalah mengikuti sunnah Nabi SAW yang syar‘iy. Dan, sunnah syar‘iy dari beliau itu pasti sejalan dengan sunnah kauniyah Alloh. Maka tidak ada satu sunnah pun yang dibawa Rosululloh SAW melainkan menjadi solusi bagi sunnah-sunnah dalam kehidupan ini, sekaligus akan merealisasikan maksud dan niat baik seseorang. Dengan inilah, janji Alloh untuk memenuhi semua kemaslahatan di dunia terpenuhi, dan juga pahala di akhirat tercapai pada hari kiamat. Orang seperti itu akan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Akan tetapi, jangan pernah mengira, bahwa kebahagiaan dunia itu terpenuhi dengan banyaknya harta, kedudukan terhormat, dan kedudukan tinggi. Semua ini bukan menjadi tujuan seorang muslim sama sekali. Sebab tujuan orang muslim itu tergantung dengan mencapai kesyahidan. Demikian juga manusia, ia akan bisa menjalankan sunnatulloh dengan baik dengan mengikuti sunnah Nabi SAW.
3. Menyadari Bahwa Jihad Adalah Awal Sekaligus Akhir Semua Urusan, dan Jihad Adalah Cara Alloh Menguji Umat Manusia Supaya Terlihat Hakikatnya
Model para shahabat dulu berbeda-beda, kemampuan dan tauladan yang mereka berikan juga bermacam-macam. Akan tetapi, ada satu hal yang mengumpulkan mereka tanpa terkecuali, ada tali yang mengikat mereka tanpa pandang bulu, tali itu adalah jihad fi sabilillah.
Bahkan, kita melihat bahwa mayoritas permasalahan-permasalahan ilmu yang diajarkan Rosululloh SAW, baik ilmu dalam berdagang maupun hukum-hukum lainnya, itu dipelajari para shahabat Radhiyalloh ‘Anhum ketika dalam kondisi berjihad di jalan Alloh Ta‘ala.
Saya tidak bisa menyebutkan banyak contoh atau menguasai sebagian contoh ini yang menjadi bukti kaidah di atas. Akan tetapi, saya menganjurkan kepada para penuntut ilmu untuk membuka dan membaca Shohih Bukhoriy misalnya (yang merupakan contoh terbaik dari apa yang saya katakan), tapi mereka harus membacanya dengan teliti dan disertai perenungan. Dan cobalah masing-masing untuk mengumpulkan sebab terjadinya hadits yang tercantum. Artinya, hendaknya dipelajari kapan hadits itu dikatakan dan di mana dikatakan. Niscaya nanti akan terlihat bahwa kebanyakan masalah-masalah fikih dalam kehidupan ini secara umum, itu disampaikan di medan jihad di jalan Alloh Ta‘ala. Berikut sebagian contohnya:
a. Sabda Rosululloh SAW kepada Jabir RA, ketika beliau menyarankan kepadanya untuk menikahi wanita yang masih perawan,

“Mengapa kamu tidak menikahi wanita perawan, yang kamu dan dia bisa saling bercumbu…?”
Nabi SAW mengucapkannya di akhir sebuah pertempuran.
b. Fikih Tayammum karena junub, diambil dari peristiwa dalam sebuah pertempuran.
c. Hukum Nikah Mut‘ah, baik ketika masih dihalalkan dan ketika diharamkan untuk selama-lamanya, semua itu terjadi dalam pertempuran.
d. Bolehnya melakukan kerjamasa (syirkah) Abdaan, diambil dari hadits yang terkait tentang bolehnya dua orang mujahidin bersekutu dalam urusan ghonimah.
Banyak sekali contoh lain yang tidak mungkin kita sebutkan semua. Semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa semua aktifitas yang semestinya dikerjakan umat ini, begitu juga aktifitas lain apa pun, itu mengikuti jihad fi sabilillah Ta‘ala.
Tatkala semua aktifitas umat ini –selain yang dikecualikan oleh sang Pembuat Syariat yang Mahabijaksana—adalah bagian dari jihad fi sabilillah, maka umat yang paling diutamakan adalah yang paling tekun berjihad, yang paling dijadikan tauladan adalah yang paling banyak menggeluti debunya. Jadi yang diutamakan adalah orang yang berjihad di jalan Alloh Ta‘ala. Begitu juga halnya dengan para komandan, khalifah, dan pemimpin umat Islam; tidak ada seorang khalifah pun dalam sejarah kita yang begitu panjang, kecuali dia seorang muqotil (petempur) mujahid, dan berada di urutan tertinggi dalam amalan agung ini.
Harun Ar-Rosyid misalnya, beliau adalah sosok yang agung, sayangnya para pendusta membuat-buat kisah-kisah palsu bahwa dia suka bermewah-mewah, suka berbuat sia-sia dan berpesta pora. Padahal, kalau mereka tahu fakta sebenarnya, tentu mereka akan malu sekali. Namun, nampaknya mereka memang tidak punya rasa malu.
Harun Ar-Rosyid, beliau berperang setahun dan berhaji setahun. Ia bahkan tidur di atas kuda jihadnya sampai kakinya keras karena seringnya menaiki kuda tersebut. Ia meninggal dalam pertempuran As-Shoif di daerah Timur, dalam kondisi berjihad di jalan Alloh Ta‘ala.
Kalau ada yang mengatakan, “Tapi, dia banyak harta.”
Kami katakan, “Benar, umat Islam memang harus begitu. Harus kaya seperti dia. Dia bukan kaya tapi kemudian rakyatnya tidak mendapatkan sesuap roti seperti kondisi para penguasa dzolim dan angkuh.”
Kami juga katakan, “Semua ini adalah anugerah Alloh yang diperoleh karena berjihad di jalan Alloh. Karena dengan jihad itulah Alloh mewariskan kepadanya negeri-negeri orang dzolim, sebagaimana sabda Nabi SAW, “…dijadikan rezekiku di bawah bayang-bayang tombakku…”
Kami katakan perkataan ini untuk menjawab orang yang mencoba mencari sosok kepemimpinan yang benar dan tepat bagi masyarakat Islam. Demikian juga dengan organisasi dan kelompok. Kita tidak akan pernah bisa –menerima atau pun tidak—melahirkan kepemimpinan yang tepat kecuali melewati kondisi yang benar untuk melahirkannya. Kondisi itu adalah jihad di jalan Alloh.
Ketika seorang pemimpin tampil dengan sekelompok manusia di sekelilingnya pada kondisi genting dan menakutkan, dalam kondisi mempertahankan kesabaran dan menahan rasa berat, yang ini merupakan kondisi luar biasa keras, maka saat itulah barang tambang itu kelihatan aslinya. Ketika itulah, keaslian seorang pemimpin terbersihkan dari debu dan kotoran. Itulah pemimpin sejati yang pantas memangku jabatan tersebut. Bahkan, jabatan sebagai pemimpin memang satu hal yang patut dihormati dan dibanggakan. Akan tetapi kalau itu terjadi pada zaman kesantaian dan kelesuan, zaman kehinaan dan ketertindasan, zaman kerendahan dan kenistaan, di mana seorang syaikh datang mengenakan surban, kemampuannya paling maksimal adalah menyampaikan kata-kata penuh semangat dan indah, setelah itu ia bisa memikat fikiran orang-orang yang mendengarnya lalu mereka langsung menganggapnya sebagai pemuka dan pimpinan, maka kondisi seperti inikah yang akan melahirkan pemimpin yang tepat?
Ataukah ketika ada seorang lelaki yang datang kepada kita dengan kemampuannya berpropaganda, dengan kemahirannya menerbitkan majalah, atau selebaran, atau koran, lantas orang menganggapnya mulia, mereka mengenalnya sebagai penulis yang hebat, politikus yang handal, apakah seperti ini cara yang benar dalam melahirkan pemimpin sejati?
Ini sekedar contoh. Silahkan Anda memberikan penilaian dengan contoh ini, supaya Anda tahu bahwa kepemimpinan sejati itu hanya bisa diketahui dengan jihad di jalan Alloh Ta‘ala, di saat-saat penuh kesulitan dan kegoncangan.
Al-Quranul Karim telah menampilkan sebuah contoh indah di hadapan kita, tentang bagaimana mengeluarkan barang yang murni dari sekian benda-benda palsu yang menumpuk. Pemaparan contoh ini adalah permisalan yang hidup dan realistis dalam mengajari umat tentang cara mengeluarkan barang murni ni, tentang cara menyaring barisan, cara menilai kadar para lelaki. Peristiwa sejarah yang dipaparkan Al-Quranul Adzim ini juga berisi jawaban yang jelas dan gamblang bagi munculnya metode-metode bid‘ah dalam membentuk kader dan membentuk kemampuan. Sebab, banyak sekali orang-orang berfikiran pendek hari ini yang melontarkan cara yang bid‘ah dalam tubuh umat ini. Dalam ajakan-ajakan yang mereka serukan ini –yang lambat laun kita akan mengetahui hakikatnya—mereka melenyapkan kekuatan yang unik dan hakiki di dalam diri pemuda muslim.
Para penganut faham tarbiyah berusaha mencari dalil untuk membenarkan cara yang mereka tempuh dalam pembentukan umat dan tokoh-tokohnya. Anda lihat mereka berteriak di mana-mana bahwa umat Islam dan pemuda muslim sangat memerlukan tarbiyah dan persiapan sebelum diletakkan dalam medan ujian dan cobaan. Mungkin, dalil paling menonjol yang dipakai arus gerakan bid‘ah ini adalah kisah Tholut ‘Alaihis Salam. Kita akan menampilkan peristiwa tersebut seperti yang digambarkan Al-Quran, supaya nampak dengan jelas bahwa kisah tersebut justeru menjadi dalil yang membantah mereka, bukan mendukung mereka. Dan sebenarnya, peristiwa itu merupakan salah satu landasan dan dalil dari gerakan-gerakan jihad, yang membuktikan bahwa gerakan jihadlah yang berhasil mendidik umat dan melahirkan para pemimpin, serta mengajari kita bagaimana menilai kadar seseorang.
Dalam surat Al-Baqoroh ada cerita panjang tentang Bani Israel. Di antara firman Alloh tentang Bani Israel sepeninggal Nabi Musa ‘Alaihi `s-Salam dalam surat ini adalah (lihat Al-Baqoroh: 246 – 252):

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Alloh...”
Dalam ayat ini, sebagaimana kita lihat, yang meminta kehadiran seorang raja adalah para pemuka (dalam bahasa arabnya: Al-Mala’). Dan kata Al-Mala’ dalam Al-Quran merupakan sifat yang tidak enak diterima jiwa. Sekedar sebutan kata Al-Mala’ dan penggunaan sifat ini pada suatu kaum, cukup mengesankan adanya kehinaan dan menyematkan sifat-sifat yang tercela dan buruk (silahkan memeriksa kata Al-Mala’ dalam Al-Quranul Karim).
Al-Mala’ biasanya tidak meminta sesuatu yang baik, kalau lah mereka memintanya maka biasanya karena ada sesuatu yang tersembunyi dalam diri mereka. Dan di sini saya tidak tahu, mengapa para Al-Mala’ itu membeda-bedakan antara nabi dan raja yang berperang. Padahal sunnatulloh yang berlaku bagi para nabi, baik dari kalangan Bani Israel atau bukan, bahwa nabi itu pasti menjadi pemutus hukum, pemimpin dan sekaligus hakim. Hal ini jelas terlihat dalam tubuh Bani Israel, diperkuat dengan hadits Nabi, beliau bersabda, “Dulu, Bani Israel dipimpin oleh para Nabi.” Maka, apakah permintaan bersyarat dari para Al-Mala’ itu sengaja didahulukan agar kita tahu bahwa yang meminta itu benar-benar Al-Mala’ (yang mengandung konotasi buruk, pent.) walau pun mereka menghiasnya dengan yang lain agar tampak indah? Jawaban dari pertanyaan ini memerlukan pembahasan dan penelitian lain, walau pun untuk saat ini pendapat itulah yang lebih membuat jiwa tenang. Bahkan, begitu cepatnya hakikat siapa diri mereka yang tercantum di akhir ayat, memberi tahu Anda akan kebenaran pendapat yang kami katakan. Alloh Ta‘ala berfirman di sana,

“…tetapi ketika Kami wajibkan atas mereka berperang, mereka berpaling kecuali sedikit di antara mereka, dan Alloh Mahatahu tengan orang-orang dzalim.”
Setelah itu, ayat-ayat berikutnya menjelaskan kepada kita bagaimana peristiwa itu secara globalnya, dan bagaimana berperang diwajibkan atas mereka, dan bagaimana kisah selanjutnya dan bagaimana ia berjalan:

“Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Alloh telah memilih Tholut sebagai raja bagi kalian,” Mereka berkata, “Bagaimana mungkin dia menjadi raja bagi kami padahal kami lebih berhak menerima kerajaan daripada dia dan dia tidak diberi kelapangan dalam urusan harta…?”
Kalam robbaniy ini mempertegas kepada kita bahwa ujian itu ditimpakan kepada para Al-Mala’, Al-Mala’ yang banyak harta. Al-Mala’ itu menuntut kerajaan. Karena Alloh Mahatahu tentang orang-orang dzalim, maka Dia sudah tahu bahwa orang-orang itu menuntut kerajaan saja, bukan raja yang mau berperang. Sedangkan landasan kebenaran mereka dalam menerima seseorang sebagai raja adalah banyak harta. Kalau kita mencoba membayangkan kepribadian para Al-Mala’ itu, dan bagaimana mereka berusaha dengan cara-cara palsu dan licik untuk menutupi pembenaran berperang, tentu akan jelas bagi kita banyak hal. Pertama-tama mereka meminta:

Seorang raja yang berperang di jalan Alloh bersama kami…”,
… tapi tatkala sang Nabi menjawab hujjah mereka dan meningatkan aib dalam diri mereka dengan mengatakan,

“…apakah barangkali, kalau diwajibkan atas kalian untuk berperang, kalian tidak mau berperang…?”
Maka jawaban mereka atas pertanyaan sang Nabi ini memperkuat apa yang sebelumnya mereka nyatakan, bahwa apa yang disukai dan dicintai oleh jiwa kami seperti yang engkau ketahui (wahai Nabi), itulah yang mendorong kami meminta berperang,

“Mereka berkata, “Bagaimana mungkin kami tidak mau berperang, sementara kami telah diusir dari negeri-negeri dan anak-anak kami…?”
Itulah kata-kata para Al-Mala’ tersebut, kata-kata yang justeru menelanjangi siapa mereka sebenarnya. Pengantar ini akan mengantar Anda kepada peristiwa-peristiwa yang akan terjadi berikutnya, yang semua itu mengupas tentang siapa sebenarnya mereka.

“Maka ketika Tholut membawa pasukannya…”
… ayat ini mengandung makna bagaimana para Al-Mala’ itu mundur ke belakang. Di dalamnya ada isyarat bahwa para Al-Mala’ itu berguguran, ada yang masih konsisten ikut pasukan perang sehingga ia menjadi seorang tentara. Ada yang tetap tinggal di tempat supaya tetap disebut Al-Mala’. Di mana hakikat asli mereka mengarah pada saat genting, di situlah hakikat mereka yang sebenarnya berada. Siapa yang ikut dalam pasukan, maka ia berada di bawah sifat baru, yaitu tentara.

“Ketika Tholut membawa pasukannya…”
Tholut ditunjuk sebagai raja tanpa campur tangan para tentara dan para Al-Mala’, ia ditunjuk atas perintah ilahi,

“Sesungguhnya Alloh telah mengirim Tholut sebagai raja kalian…”
… sebagai licensi pengangkatannya.

“Dengan membekalinya kelebihan dalam urusan ilmu dan kekuatan fisik…” yakni kekuatan sekaligus amanah.
Kemudian datang ujian syar‘iy yang tanpa ada campur tangan dari manusia, ujian itu adalah kata-kata Tholut:

“Sesungguhnya Alloh menguji kalian dengan sungai, siapa yang minum darinya maka ia bukan dari golonganku. Dan siapa tidak meminumnya maka ia termasuk golonganku. Kecuali yang mengambil satu cidukan dengan tangannya…”
Ini adalah perintah syar‘iy yang ditetapkan Alloh, bukan karena dianggap baik oleh akal manusia seperti syarat yang ditetapkan para pengklaim faham tarbiyah. Lantas, bagaimana manusia boleh membuat syarat dalam jihad dengan sesuatu yang tidak Alloh turunkan kekuasaan atasnya?
Apa dalil yang menunjukkan pensyaratan bid‘ah ini?
Ada seorang syaikh yang menghendaki umat ini tidak usah berjihad sampai mereka terbiasa sholat malam, tanpa ada satu pun yang tidak mengerjakan. Ada juga syaikh yang tidak memperbolehkan umat ini berjihad sebelum hafal hadits-hadits Arba‘in An-Nawawiyah. Ada syaikh yang mensyaratkan dalam jihad, umat harus memahami dulu masalah politik dan aturan main negara-negara internasional. Ada syaikh yang sebelum jihad dilakukan wewajibkan pembuangan fanatisme madzhab, kalau tidak maka jihad tersebut akan menjadi jihad demi madzhab yang empat. Ada lagi yang lain, dan ada lagi yang lain…
Syarat-syarat yang tidak pernah Alloh turunkan hujjah atasnya.
Kemudian, ada satu pokok masalah yang perlu dikaji di sini, yaitu: Apakah Tholut ‘Alaihis Salam menetapkan berbagai syarat tertentu sebelum mengumumkan jihad? Ataukah syarat-syarat untuk pasukannya itu berlaku setelah ia membawa pergi pasukannya?
Ini adalah point penting, sebab kisah itu menunjukkan kepada kita bahwa komandan boleh menguji hakikat dan kapasitas tentaranya, dan seberapa mereka kuat menahan kesulitan dan beban berat yang ada dalam perjalanan jihad, tentunya itu terlihat dari pergerakan yang ia lakukan bersama-sama tentaranya. Bukan seperti yang diinginkan para syaikh kita di zaman sekarang, yaitu menguji mereka tapi mereka berada di atas kasur yang empuk. Maka sungguh jauh perbedaan antara keikhlasan dan kemurnian hakiki yang keluar dari tengah huru-hara dan badai cobaan, dengan keikhlasan semu yang keluar dari ujian kesetiaan kepada para penguasa dan menyerahkan kepala ini seperti burung beo yang tidak faham dan mengerti. Akhirnya, kepemimpinan disematkan berdasarkan kesuksesan dalam hal itu.
Sesungguhnya pengetahuan Tholut akan hakikat pasukannya didapat dari perjalanan dia bersama mereka dalam jihad di jalan Alloh Ta‘ala. Dan inilah cara yang menjadi pendapat kami dan kami seru manusia untuk mengikutinya, dengan anugerah dan rahmat Alloh Ta‘ala. Dan kami memuji Alloh Ta‘ala yang telah menyelamatkan kami dari penyakit-penyakit yang menimpa orang lain serta menyelamatkan kami dari pemahaman-pemahaman cacat mereka.
Selanjutnya, loloslah mereka yang lolos seleksi itu untuk kemudian menghadapi Jalut dan tentaranya, setelah ujian sungai dan minum darinya, dan setelah ujian jumlah pasukan yang banyak dan kekuatan materi. Al-Quranul Karim tidak menceritakan kepada kita bahwa ujian berupa banyaknya jumlah musuh itu menjadikan suatu kaum gugur begitu saja. Bahkan, kaum itu justeru mendapatkan pujian sebelum mereka melihat jumlah musuh yang banyak, di mana Alloh Ta‘ala berfirman tentang peristiwa sungai,

“Ketika Tholut dan orang-orang beriman bersamanya berhasil melewati sungai…”
Sifat iman dalam ayat ini adalah pujian, akan tetapi iman itu bertingkat-tingkat, bukan satu tingkatan saja.
Alloh Ta‘ala berfirman:

“Maka Tholut berhasil mengalahkan mereka dengan izin Alloh, dan Dawud membunuh Jalut, dan Alloh memberikan kepada Dawud kerajaan serta hikmah dan mengajarinya ilmu yang Dia kehendaki…”
Takdir ilahi menentukan kemenangan itu diraih oleh orang-orang beriman, dan terjadilah janji Alloh:

“Betapa banyak kelompok yang sedikit berhasil mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Alloh, dan Alloh bersama orang-orang yang sabar.”
Dari peristiwa pertempuran, dari tengah-tengah kekacauannya, dan dari gerakan jihad, akhirnya manusia mengenal siapa itu nabi Dawud ‘Alaihi `s-Salam. Kita meyakini bahwa kenabian adalah pilihan semata. Dulu para salaf mencela Imam Ibnu Hibban Al-Bastiy, penulis Shohih Ibnu Hibban, yang mengatakan, “Kenabian adalah ilmu dan amal,” karena ia membuang adanya peran pilihan ilahiy. Akan tetapi, kita meyakini bahwa bukan seperti itu yang dimaksud oleh Imam Ibnu Hibban.
Sengaja saya ketengahkan penjelasan ini sebagai pengantar, supaya tidak ada yang beranggapan bahwa makna ucapan kami tadi membuang peran pilihan. Kita mengerti dari ayat-ayat tadi, bahwa Dawud Alaihis Salam muncul sosoknya setelah membunuh Jalut.

… dan Dawud membunuh Jalut…
Maka Alloh Ta‘ala menggabungkan pada diri Dawud apa yang sebelumnya masih terpisah sebelum kejadian, yaitu antara kenabian dan kerajaan,

“Dan Alloh memberikan kepadanya kerajaan dan hikmah.”
Benar, ketika tentara bernama Dawud ini membunuh si kafir Jalut, itulah awal mula ia terpilih.
“Dawud membunuh…” (Jalut), di sini Alloh Ta‘ala telah memilih Dawud untuk tugas itu. Lantas, apakah para masyayikh kita memahami makna ini, membunuh, membunuh, sekali lagi membunuh?
Seandainya saja para masyayikh kita mengulangi tafsir dan penjelasan kalimat qotala kepada kita… Nabi SAW pernah bersabda,

“Orang kafir dan pembunuhnya tidak akan berkumpul jadi satu di neraka.” (HR. Muslim.)
Karena tujuan agar umat Muhammad SAW memahami kata-kata qotala (membunuh), dan bahwa itu adalah manhaj Alloh yang selamat dan lurus, maka Alloh SWT menyusulkan setelah kejadian itu dengan kata-kata yang agung dan mulia:

“Dan sekiranya Alloh tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu akan rusaklah bumi ini…”
Seandainya Dawud tidak membunuh Jalut, tentu Jalut dan balatentara akan terus melakukan penyarangan dan penyerbuan, serta merusak tanam-tanaman dan keturunan manusia. Akan tetapi, ketika Alloh memberi nikmat ini dengan mengajarkan kepada mereka untuk membunuh thoghut, maka mereka harus mensyukuri nikmat tersebut. Sebab Alloh Mahamemberi anugerah kepada seluruh semesta alam. Sebagaimana firman Alloh di akhir ayat:

“Kalau bukan karena Alloh menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu akan rusaklah bumi ini, akan tetapi Alloh Maha Memberi anugerah kepada seluruh semesta alam.”
Benar, Alloh Maha Memberi anugerah kepada seluruh semesta alam. Maka, di antara mereka ada yang mensyukuri dan ridho dengan anugerah tersebut, dan ada juga yang menolak dan enggan menerimanya. Lalu ia pergi bergelimang dalam kegelapan sembari mencari kata-kata lain selain

“…maka Tholut dan pasukannya berhasil mengalahkannya…”
… dan kata-kata:

“…membunuh…”

“Itulah ayat-ayat Alloh yang Kami bacakan kepadamu dengan kebenaran, dan sungguh kamu termasuk salah satu dari para rosul.”
Kisah bersejarah yang diceritakan Al-Quran dengan begitu indah ini menungkapkan kepada kita bahwa jihad adalah awal sekaligus akhir dari segala urusan. Dan jihad adalah methode Alloh Ta‘ala dalam menguji manusia, supaya terlihat hakikat sebenarnya dari umat ini.
Di bagian penutup, kami ringkaskan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
1. Para Al-Mala’ itu membantah dan jihadlah membongkar hakikat mereka sebenarnya. Hakikat asli mereka tidak terbongkar dengan selain jihad, dan mereka adalah orang-orang yang banyak memiliki falsaaft dan bahan debat, dan mereka juga banyak bualan dan kegamangannya.
2. Tholut baru tahu hakikat pasukannya dari hasil perjalanan dan gerakan jihad fi sabilillah Ta‘ala yang ia lakukan. Bukan dalam posisi jauh dari medan pertempuran dan pergerakan atau yang semisal.
3. Iman tidak saling menafikan perasaan-perasaan yang menghinggapi manusia, seperti rasa takut dan khawatir. Akan tetapi, rasa takut dan khawatir ini bukan alat pembenaran untuk tidak mengumumkan jihad di jalan Alloh Ta‘ala.
4. Kepemimpinan Dawud lahir di tengah medan pertempuran. Dan setelah benar-benar terbukti bahwa dia mampu melukai kepala Jalut, maka ia berhak menjadi kepala (pemimpin)
5. Bahwa ilmu syar‘iy adalah salah satu syarat dalam kepemimpinan jihad. Sebab jihad adalah gerakan yang teratur dengan aturan syar‘iy dan perintah-perintah Alloh Jalla fi ‘Ula.
6. Sesungguhnya panji jihad adalah anugerah ilahiy dan nikmat robbaniy. Umat Islam wajib menerima anugerah dan nikmat Alloh itu. Dan siapa yang berpaling darinya, maka ia adalah orang yang rugi dan tertipu.
Sesungguhnya masalah paling sulit yang dihadapi gerakan Islam adalah tidak adanya pemimpin yang pantas serta simbol yang benar untuk melakukan arus gerakan.
Walau pun sempat muncul momen yang tepat tapi temporal untuk melahirkan pemimpin itu, tapi langkah-langkah yang ditempuh masih gagal. Dan kita melihat pemuda muslim itu termasuk orang yang paling menghormati mas’ul dan pimpinannya, ini ketika pemuda itu jauh dari area kepemimpinan dan tidak bercampur dengannya. Tapi giliran ia sudah merasakannya dan bergaul dengannya, kepercayaan itu mulai goyah. Rasa hormat itu mulai runtuh. Dan mulailah ia berteriak menyatakan berbagai kesalahan syaikh dan pimpinan-pimpinannya. Ini semakin memperkuat bukti bahwa cara melahirkan pemimpin yang dilakukan harakah-harakah itu adalah cara yang rusak dan keliru. Dan demi menjaga wibawa seorang syaikh terhormat, atau pemimpin yang diterima, sebagian mereka mencoba menghidupkan cara-cara sufisme dalam memperlakukan para masyayikh. Akan tetapi cara itu sudah dibungkus dengan kedok amal, atau kedok salafi, atau pembenaran-pembenaran berupa aturan yang diambil dari sistem jahiliyah yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Islam. Namun percobaan berulang-ulang untuk mengsucikan figur pemimpin, tidak akan bertahan lama ketika ada ujian-ujian langsung dari jarak dekat dan menerjuni langsung berbagai kaidah dan kepemimpinan. Siapa di antara pemimpin itu yang kuat menghadapi tekanan-tekanan luar ini, tanpa pandang bulu apakah dia seorang syaikh atau pemimpin, maka akan lahirlah sosok yang telah tertempa, berupa seseorang yang rela mengorbankan fikiran dan keinginannya untuk mereka. Ketika itulah gerakan Islam akan menjadi sebuah kumpulan suara yang berjalan di belakang satu komando. Inilah gambaran paling mendekati kebenaran berdasarkan apa yang kami lihat dari realita pembentukan jamaah-jamaah Islam.
4. Membedakan Ulama Robbaniy dengan Ulama Penguasa Yang Bekerja Sebagai Corong Thoghut:
Para pengabdi dan “tukang sihir” para penguasa murtad yang mengenakan surban acak-acakan dan wajah buruk, dan pemilik fatwa-fatwa bayaran, perumpamaan mereka seperti seekor anjing, jika engkau halau dia menjulur-julurkan lidah, jika engkau biarkan ia juga menjulur-julurkan lidah.
Sebagian orang awam yang menganggap dirinya berilmu dan beragama bagus menggunakan hadits dan atsar-atsar salaf tentang larangan mendekati para penguasa, kemudian menerapkannya pada kondisi zaman sekarang. Dan ini adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab realita kedua zaman tersebut memiliki perbedaan yang tidak memungkinkan salah satunya disamakan dengan yang lain. Adapun para penguasa yang dibicarakan para imam dan mereka peringatkan untuk tidak mendekatinya adalah –yang pertama—orang-orang muslim, namun mereka mencampur adukkan antara amal sholeh dan tidak sholeh. Tapi meski demikian, mereka tetaplah menjadi pelindung Islam dan tameng yang menjadi pelindung sendi-sendi kehidupan, menangkal huru-hara zaman dan perangkap-perangkap musuh. Mereka juga tunduk selalu kepada hukum-hukum Islam dan kaidah-kaidah syar‘iy, mereak tidak pernah berusaha untuk menyerang, apalagi menghalang-halangi, kebenaran.
Lantas, di mana posisi kesamaan para penguasa kita dengan mereka?
Para penguasa zaman sekarang telah keluar dari Islam melalui semua pintunya. Mereka telah berpaling dari agama Alloh, menolak hukum-hukum-Nya, menyepelekan agama, syariat-syariatnnya dan pemeluknya. Mereka justeru setia kepada agama-agama selain Islam. Lantas, kebutaan apa yang lebih parah dari kebuataan yang menimpa manusia saat ini, yang sampai-sampai kebutaan itu membuat mereka tidak mampu mengungkap kemurtadan para penguasa mereka?
Bisakah kita mengatakan, bahwa penolakan para “pelayan” penguasa yang menganggap dirinya memiliki ilmu dan kefahaman itu dari mengkafirkan para penguasa tersebut karena adanya syubhat ilmiah?
Sesungguhnya syubhat ilmiah yang layak kita perselisihkan dengan pengkajian dan pemikiran adalah syubhat-syubhat yang tersembunyi dan yang rinci-rinci. Adapun masalah yang orang bermata kabur, bahkan buta, saja bisa menabraknya karena saking besarnya, maka itu tidak pantas kita sebut syubhat.
Sebenarnya, sebab utama yang menjadi pijakan para “pelayan” itu adalah syahwat jiwa. Ya, syahwat terhadap harta dan jabatan, serta rasa takut kalau kehilangan nama di jajaran pegawai negeri. Ya, semua itu sebenarnya adalah ambisi untuk merealisasikan keinginan syahwat.
Bisa kita katakan bahwa thoghut di zaman sekarang berhasil membentangkan pengaruh “ketuhanannya” di muka bumi dengan berbagai penyangga dan pilar. Di antara pilar tersebut adalah, cek uang tunai, surat rekomendasi terhadap seseorang, izin khusus bepergian, dan gelar-gelar akademik. Semua ini adalah penopang terpenting bagi thoghut hari ini. Dengannya thoghut bisa memaksakan kekuasaannya kepada manusia dan mengekang tali kehidupan dengannya dan melaluinya. Ia bisa menolak dan memberi. Dengan satu keinginan darinya, ia bisa menjadikan lembaran uang kertas tak bernilai itu –yang tidak lebih berat dari uang logam—untuk membuat leher-leher tertunduk, jiwa-jiwa menjadi hina, bisa melahirkan kemampuan di luar batas demi meraih harta kekayaan, makanan, tempat tinggal, pakaian, dan kesenangan hidup. Dengan kertas itu pula, ia bisa menjelma sebagai “tuhan”, yang bisa memberi dan menolak sesukanya.
Tak jauh beda dengan ini adalah surat rekomendasi tentang seseorang. Dengan surat itu, thoghut bisa memusnahkan seseorang dari kehidupan dan menjadikannya hilang tak berbekas. Dengan surat itu pula ia bisa menetapkan garis keturunanmu di negerinya atau mencabutnya darimu. Dengan surat itu engkau bisa berpindah dari satu negeri ke negeri lain. Dan yang semisal dengan ini adalah ijazah-ijazah akademik (penjelasan mengenai pilar-pilar ini ada tempatnya tersendiri).
Ada kelebihan aneh yang belum pernah terjadi pada umat-umat di masa lampau. Yaitu, thoghut di zaman sekarang punya hak memberikan label ulama. Jadi, bisa saja dia menganggap si fulan ulama, suaranya terdengar ke saentero dunia dan masyarakat. Atau sebaliknya, bisa juga ia menghendaki fulan yang lain berada dalam kehidupan gelap, diperlakukan seperti tidak punya perasaan dan tidak mendapatkan akses berita.
Jadi, akhi muslim, seandainya engkau bertanya tentang nama-nama ulama di sebuah negeri, maka dengan cepat akan tergambar di benakmu nama-nama yang biasa tercantum di media informasi thoghut. Ulama negeri tertentu yang engkau kenali sekarang itu, engkau mengenalinya karena memang thoghut ingin kamu mengenalinya. Dialah yang mengangkatnya sebagai anggota Lembaga Ulama Besar. Dia juga lah yang menggelarinya sebagai ahli fatwa di negeri ini. Dia juga yang mengangkatnya sebagai menteri Wakaf, yang menjadikannya sebagai qodhi tertinggi, yang mengangkatnya sebagai imam bagi kaum muslimin, yang…yang…dst, semuanya itu thoghut yang melakukan.
Dulu, biasanya syaikh Al-Azhar di Mesir terpilih oleh Lembaga Para Ulama yang saling berkumpul dalam menentukan siapa yang paling berhak mendapatkan gelar syaikh Al-Azhar, supaya tugas ilmiyah ini diberikan kepada orang yang pantas. Tapi sekarang, syaikh Al-Azhar yang menunjuk adalah thoghut. Cukup dengan sedikit karya tulis dan dukungan thoghut, seorang yang masih “kecil” bisa menjadi Syaikh Al-Azhar yang mengeluarkan fatwa-fatwa ilmiyah, kajian-kajian fikih istimewa, dan golongan manusia-manusia jahil saling berdesakkan untuk bisa mengambil air dari mata air ilmunya yang seolah tidak pernah kering. Semua itu tidak terjadi melainkan karena thoghut telah membentangkan jalan baginya untuk mendapat gelar ilmiyah. Sebab, thoghut tidak menginginkan dari rakyatnya selain patuh dan tunduk, bahkan menuhankannya. Dan tidak ada yang mau menjadi pendukungnya selain tukang sihir yang menghias kekuasaannya dan membelanya dari berlalunya zaman. Dan ini adalah syarat yang harus ada, sebab gelar ilmu itu hanya akan dibatasi bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat ini.
Akhirnya, manusia tidak melihat ada seorang ulama pun melainkan ia berjalan di rombongan thoghut, atau menjadi salah satu pengikutnya. Dengan begitu, akhirnya nilai ilmu dan ulama jatuh di mata pemuda muslim. Akhirnya, sebagian besar orientasi pemuda adalah mencela ulama dan menjuahkan orang dari mereka.
Padahal yang benar, mereka yang masuk dalam barisan thoghut itu tidak layak untuk digelari sebagai orang yang berilmu. Ahli ilmu sejati adalah yang melaksanakan hak ilmu yang mereka pikul, berlepas diri dari sesembahan-sesembahan batil, dan mencengkeram kuat kebenaran walaupun terasa pahit.
Namun sayang sekali, ahli ilmu seperti ini tidak bisa dikenali kecuali setelah melakukan pengujian terhadap mereka dan setelah melakukan pencarian yang sangat melelahkan. Sebenarnya jumlah mereka banyak, akan tetapi thoghut zaman sekarang menutup mereka dari pandangan manusia dan menghilangkan gelar ilmu pada dirinya sekaligus namanya.
Maka, kewajiban para pemuda muslim dalam mencari ilmu dan menanyakan urusan-urusan agamanya adalah mencukupkan diri pada para ulama yang jujur, yang tidak dikenal di dalam hidup manusia pada umumnya.
Setiap thoghut telah menggalang para pembantu dari kalangan fuqoha, ia menggunakan mereka sebagai alat meneruskan kekufurannya dan menghias hukumnya. Barangkali seseorang akan merasa aneh ketika melihat bahwa kumpulan ulama itu adalah para pelayan thoghut.
Begitulah, setiap thoghut punya pelayan dari kalangan orang yang mengaku ulama. Ia gunakan mereka seperti menggunakan sepatu saja. Ia kumpulkan mereka di muktamar tahunan, di mana di sana ia berikan sedikit penghormatan dan pemuliaan yang mengamini perkumpulan buruk mereka, dengan khutbah yang seolah-olah suci, yang ia hiasi dengan beberapa ayat dan hadits. Dan dengan kata-kata yang kurang bermanfaat, ia menjelaskan kepada para “ulama kita” yang mulia sebagian prinsip dakwah Islam, dan cara-cara menyebarkannya dan memperbaiki citranya di tengah umat manusia. Maka ia mendorong mereka untuk berdakwah kepada Alloh dengan penuh hikmah, agar menyesuaikan diri dengan budaya. Ia juga menjelaskan kepada mereka pintu yang dibuka syetan kepadanya. Jadi mereka seperti batang-batang kayu yang tersandar, hanya senyum-senyum saja seperti orang bodoh sambil mengangguk-anggukkan kepala, seraya sesekali melontarkan kata-kata kekaguman, atau seolah perasaan mereka bangkit lalu mereka memberi tepuk tangan kegirangan dan kesesatan. Seolah mereka tengah menghadapi seorang khalifah yang lurus, atau Imam Mahdi akhir zaman.
Meskipun demikian, thoghut tetap tidak lupa dengan “tongkat pemukul”nya sebagai pengancam, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sambil mematikan rayuan. Karena ini termasuk prinsip dalam mendidik monyet.
Coba simak contoh kalimat berikut:
“Di antara yang mengusika pikiran kita, dan pikiran setiap muslim yang memiliki kecemburuan terhadap keislamannya, yang selalu berusaha menjaga kesucian dan keimanannya, adalah mulai menyebarnya penyimpangan dari prinsip-prinsip agama kiat yang lurus di sebagian kalangan masyarakat. Mereka menyimpang dari jalan lurus yang tidak ada kebengkokannya. Dan sesungguhnya pengetahuan kita yang mendalam dan kesadaran total kita akan bahaya perang pemikiran yang menargetkan nilai-nilai moral dan akhlak kita yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajarannya yang lurus, benar-benar meningkatkan rasa tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak kami selaku Amirul Mukminin, selaku penjaga millah dan agama, di negeri yang aman ini.”
Kata-kata ini adalah bagian dari surat raja Hasan II yang ditujukan kepada Muktamar ke-Tujuh Ikatan Ulama Maroko.
Dalam khutbah yang ia sampaikan di acara peresmian Majelis Ilmu Tertinggi dan beberapa majelis ilmu setempat, ia mengingatkan para ulama itu untuk tidak ikut campur dalam urusan politik, ia berkata, “Yang dimaksud bukan pelajaran-pelajaran untuk berpolitik, ketika saya mengatakan kalimat politik atau politik sehari-hari…jangan sampai kalian masuk dalam urusan yang tidak bermanfaat bagi kalian, yaitu di saat harga bahan bakar atau harga rokok naik.”
Dalam pidatonya yang lain, di hadapan sekumpulan para “pelayan” itu, ia berkata, “Kita tidak akan menutup pertemuan-pertemuan, tidak akan menutup mimbar-mimbar pidato, kita tidak akan kembali ke belakang. Saya hanya khusus membahas masalah ibadah. Untuk muamalah sehari-hari dan kejadian-kejadian, maka itu tidak penting bagi Anda semua. Anda tidak berkepentingan dengan urusan kejadian-kejadian di lorong-lorong gang, perkelahian di jalan, atau sikap tidak sopan di jalan.”
Kata-kata ini diucapkan di hadapan para “pelayan” itu, dan ternyata tidak ada satu pun yang mau menegakkan hujjah Alloh, yang dengan itu akan tertetapkan di hadapan para pemuda bahwa mereka layak disebut ulama. Kalau kita membicarakan mereka, mereka mengomentari kami, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menghormati ulama, para pemuda yang ngawur.” Memang, kami tidak akan pernah menghormati para “pelayan”, tapi kami justeru mendekatkan diri kepada Alloh dengan membongkar kedok mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad hasan, dari Ubadah bin Shomit, ia berkata, Rosululloh SAW bersabda,

“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak memuliakan yang lebih tua dari kami, tidak menyayangi yang lebih muda dari kita, dan tidak mengerti hak orang berilmu dari kita.”
Di sini, Nabi SAW memerintahkan untuk menghargai dan menghormati ulama serta tidak menghalangi hak mereka untuk dimuliakan, ditutup aibnya dan menolak gangguan yang menghampiri mereka. Tapi, ulama kaum muslimin itu selalunya adalah berfungsi sebagai penjaga agama, penjaga nash-nash dan pemahaman-pemahamannya. Melalui merekalah Alloh menolak berbagai percobaan berulang-ulang untuk mengkaburkan rambu-rambu ajarannya dan menghapuskan petunjuknya. Dan para ulama itu tidak menyisakan tenaga sedikit pun kecuali dipergunakan untuk melaksanakan hak Alloh yang dibebankan atas mereka, demikian juga dengan hak ilmu.
Baiklah, supaya kita tidak terlalu lama berkutat pada istilah-istilah umum yang tidak memuaskan kita, kami akan ajak Anda, akhi fillah, untuk mengupas siapa simbol-simbol petunjuk yang sejati itu, apa sifat ilmu dan ulama di dalam kalam Alloh Ta‘ala dan sunnah Rosululloh SAW serta perkataan para salafus sholeh. Karena orang-orang yang mengaku berilmu terlanjur menjamur, dan neraca orang untuk menilai dan memutuskan hukum telah berubah, dan kata-kata ulama sudah terlanjur menjadi permainan yang tidak ada aturannya. Demikian juga, akhirnya sifat ulama sejati tercabut dari pemilik sebenarnya dan orang yang layak menyandangnya.
Sebelum kami jelaskan sifat ahli ilmu dan ulama, kami akan sedikit menyampaikan kesalahan-kesalahan kaum jahil dan timbangan yang mereka pakai dalam masalah ini. Kesalahan-kesalahan ini banyak sekali menimpa manusia pada umumnya, selain yang dirahmati Alloh Ta‘ala.
Di antara timbangan yang keliru dan paling masyhur dalam menilai manusia dan menentukan apakah mereka berilmu dan memiliki kefahaman, adalah:
Pertama: Sudah menjadi hal lumrah di kalangan manusia pada umumnya, selain yang dirahmati Alloh, bahwa mereka tidak lagi mampu memilah seorang khotib yang pandai berkata-kata dan bersuara lantang, dan mana orang alim sebenarnya. Sebab, mayoritas manusia tidak datang ke masjid selain pada hari Jumat, atau ketika ada undangan dalam perkumpulan-perkumpulan yang biasa disebut seminar. Sebab lainnya karena mereka sudah tidak mau disibukkan lagi dengan hukum dan syariat-syariat agama, sesibuk ketika mereka membahas analisa-analisa politik, atau berita-berita dan hikayat.
Maka dengan itu, rasa bangga mereka meledak, rasa iri satu sama lain muncul sesuai apa yang mereka lihat dan dengar dari suara yang keras, atau mencela fulan dan fulan. Yang lain menampilkan ke tengah manusia rusaknya tingkah laku dan keburukan penilaian mereka terhadap sesuatu atau tindakan. Akhirnya, manusia berpaling dari pengkajian yang sejuk, pembahasan-pembahasan ilmiyah, dan pernyataan-pernyataan syar‘iy. Mereka lebih menghadap kepada orang-orang tersebut, yang memiliki kemahiran dalam seni bersilat lidah dan bersuara lantang. Manusia berpaling dari orang yang bisa membawa mereka kepada amal nyata, yang menganjurkan kepada syariat, dan menerangkan hukum-hukum agama serta fikih.
Atas dasar ini, para pengkhotbah di atas mimbar dibagi menjadi dua:
1. Para pemilik “tepung” yang tidak berpenggiling, yang banyak bicara tapi tanpa ilmu dan kefahaman. Bahkan yang seharusnya manusia mengembalikan urusan kepada Al-Quran dan Sunnah, dan yang seharunya ia hiasi khutbahnya dengan ilmu yang benar serta dengan Al-Quran dan Sunnah, ia malah menjadi “koran” mimbar. Sebelum naik mimbar, khotib itu memilih sebuah berita yang ada di koran, lalu ia mengomentarinya, mengkampanyekan isinya, membelanjakan barang dagangannya, di saat kaum muslimin tengah tertimpa musibah. Atau ia kupas tentang sebuah musyawarah semu yang dilimpahkan kepadanya. Ketika itulah, pekan ini adalah pekan kegembiraan, sebab ia telah mendapatkan materi menarik untuk khutbahnya, yang dengan khutbah itu ia bisa menyedot perhatian telinga agar tertuju kepadanya. Dari khutbah itu, ia berubah menjadi orang alim yang bersinar dan terkenal. Secara umum, orang-orang seperti ini paling menghindari pembahasan hukum-hukum syar‘iy tertentu. Biasanya perkataan mereka seputar hal-hal umum, yang dengan hal-hal umum tersebut manusia tidak terharuskan melakukan sikap yang mengundang bahaya. Orang-orang seperti ini, adalah para ulama, menurut sebagian orang.
2. Ketika sebagian penuntut ilmu melihat rusaknya tingkah laku manusia disebabkan para khotib kelompok pertama, setelah itu manusia juga berpaling dari fikih dan ilmu, dan para penuntut ilmu itu melihat bahwa pembicaraan di mimbar telah berubah menjadi “koran mingguan”, maka mereka menganggap itu adalah perkara besar yang kemudian mendorong mereka untuk mengambil sikap kebalikan. Yang sama sekali berbeda dengan bagian pertama dari segala sisi. Sikap itu adalah: tidak berkata-kata selain dalam hal yang terkait dengan muslim secara pribadi. Artinya, mereka membicarakan hukum dan fikih agama umum yang tidak mereka ketahui. Akhirnya, ia tidak mau berbicara selain urusan berbakti kepada kedua orang tua, adab berkunjung yang syar‘iy, hukum-hukum aqiqoh, bid‘ahnya puasa nishfu sya‘ban, walau pun terkadang ia mukaddimahi dengan pembicaraan tentang orang-orang dahulu, kemenangan-kemenangan yang dicapai bapak-bapak kita, dan tentang zaman kejayaan Islam…dst.
Nah, orang muslim biasa tidak keluar dari bahan permainan antara dua kelompok ini. Para khatib secara umum menghindari berbicara tentang hukum-hukum syar‘iy yang harus dijalankan setiap muslim dengan sikap tertentu dalam kaitannya tentang kejadian-kejadian kontemporer. Musibah ini merata, pada anak muda dan orang tua. Kaum muslimin terdidik dalam suasana seperti ini sampai-sampai itu menjadi bagian dari hidup mereka.
Maka sangat jarang Anda temukan seorang khotib yang memaparkan hukum-hukum syar‘iy tertentu pada kejadian-kejadian dalam kehidupan secara umum, atau yang mendorong mereka untuk melakukan pergerakan syar‘iy yang tertuntun. Di manakah pembahasan tentang hukum orang-orang yang mengganti syariat Alloh? Di mana pembahasan tentang wajibnya berjihad melawan mereka sebelum jihad melawan orang kafir asli? Di mana pembahasan tentang larangan masuk ke pekerjaan kelompok-kelompok murtad, seperti parlementer dan kepolisian?
Memang benar, ada secara gegap gempita menyuarakan wajibnya memberlakukan syariat, dan bahwa itu solusi. Memang, barangkali ada ribuan orang yang menyuarakannya. Akan tetapi, kita berharap orang-orang itu bukan sebagai penipu, karena mereka berbicara tentang wajibnya memberlakukan syariat dan menegaskannya dengan lantang di hadapan manusia, tapi di saat yang sama mereka masuk dalam kementerian hukum yang berhukum dengan selain diturunkan Alloh. Lantas mereka mengatakan kepada manusia akan wajibnya syuro, mereka membahasnya sampai suaranya habis. Akan tetapi mereka malah menjadi pilar utama majelis syirik. Akhirnya pemahaman-pemahaman seperti ini bermunculan di benak dan akal manusia. Sebab, bagaimana mungkin kita akan meyakinkan orang Islam awam bahwa berhukum kepada selain yang Alloh turunkan dan perbuatan mengganti syariat Yang Mahapemurah dengan undang-undang kafir itu adalah kafir kepada Alloh yang Mahaagung? Loyal kepada pemeluknya adalah kufur dan murtad? Padahal di saat yang sama mereka melihat bahwa yang berbicara di hadapan manusia dan mempengaruhi perasaan mereka untuk memberikan dukungan adalah yang biasa muncul di televisi, berbicara di depan para penguasa dan pembantu-pembantunya dengan penuh sopan santun, dan mereka mengatakan, “Kami selalu bersama Anda dalam setiap kata yang Anda ucapkan.”?
Iya di atas mimbar, ada kritikan, bantahan dan celaan. Tapi di belakang mimbar, yang ada adalah dukungan, pembelaan dan loyalitas.
Gambaran seperti ini menyebabkan nilai para khatib itu jatuh di hadapan manusia, rasa percaya terhadap mereka goyah, padahal bencana yang terjadi sangat besar dan urgen, yaitu: hilangnya pemahaman terhadap Islam dan hukum-hukumnya yang jelas dari benak dan akal manusia.
Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa ada juga para khatib yang hidup di luar kenyataan yang mereka hadapi, mereka memikirkan pertempuran-pertempuran yang telah lampau dan membayangkan dirinya sedang berada di zaman fitnah Al-Quran makhluk, atau di zaman ketika kaum Asy‘ariyah dan Hanabilah berseteru.
Ada seorang khatib di masjid Mekkah, ketika meletus peristiwa perang Teluk, di mana Alloh mengkuasakan mantan “kekasih” Kuwait kepada penduduk Kuwait, dan akhirnya tentara salib datang untuk melawan tentara murtadin, dan manusia terbagi seperti buih kepada bermacam-macam sikap yang tidak Alloh turunkan hujjah atasnya, penduduk Syam secara umum –khususnya penduduk awam Yordania dan Palestina—mendukung Sadam dan mengimpikannya sebagai penyelamat, mereka juga menyamakannya dengan Sholahuddin, bahkan sampai ada yang mengklaim melihat gambarnya di bulan dengan teleskopnya, dan ketika masjid-masjid dan para khotibnya menjadi sumber fitnah dan kejahatan, dan di arah berlawanan ada penduduk negara Teluk dan Jazirah Arab yang bersekutu dengan presiden Bush dan menuhankan serta mensucikannya, syaikh imam Abu Bakar Al-Jazairiy bahkan berkata, “Semoga Alloh membalas kebaikan Amerika,” dan jadilah Amerika dan Inggris lebih mereka cintai daripada orang-orang muslim yang sekulit dengan mereka pada saat fitnah yang buta itu, berdirilah seorang khotib masjid di Mekkah untuk memberikan penjelasan tentang fakta pertempuran yang tengah terjadi, ia berkata, “Apa yang membuat penduduk Syam menyerang kita? Apakah mereka menyerang kita karena kita ini ahli tauhid? Dan karena kita adalah orang-orang yang berakidah benar?”
Dalam benak khotib sekaligus imam ini, penduduk Syam dan Irak adalah ahli bid‘ah. Sebab mereka adalah kaum sufi-asy‘ariy. Sedangkan penduduk Jazirah adalah ahli tauhid dan pemegang madzhab Hanbali. Atas dasar itu, Saddam tidak menyerang Kuwait dan bersiap menyerang Jazirah melainkan untuk memberantas madzhab Wahabiy dan menyebarkan model-model sufi dan keyakinan-keyakinan Asy‘ariyah.
Kedua: Di antara timbangan penilaian yang keliru dalam memuji seseorang dan menggelarinya dengan sebutan ulama atau sifat ilmu kepadanya, adalah prasangka sebagian orang bahwa ketika seseorang tidak perhatian dengan berita-berita kehidupan, jauh dari kejadian sebenarnya, dan dia hanya menyendiri dan mengasingkan diri serta sibuk dengan isi-isi buku, ia sudah dianggap sebagai ulama sejati dan imam yang patut ditiru.
Orang akan takjub melihat seseorang yang membawakan cerita tentang syaikhnya, tentang imam dan orang yang ia cintai, dengan nada memuji dan mengagungkan, bahwa syaikhnya itu –berkat anugerah Alloh Ta‘ala—jauh dari urusan dunia, dia –semoga Alloh meridhoinya—tidak punya waktu untuk mendengarkan berita-berita dalam kehidupa, tidak pernah ada selembar koran pun masuk rumahnya, bahkan beliau –semoga Alloh menjaga dan melindunginya—tidak punya alat radio, bahkan sebagian besar waktunya digunakan untuk menuntut ilmu dan mengajari para penuntut ilmu!
Setelah itu ia semakin takjub maka ia menceritakan kepadamu berbagai berita dan bagaimana syaikhnya tidak mau ambil peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Jadi, syaikh kita ini jika disinggung oleh salah seorang tentang masalah politik dan para politikus, wajahnya langsung masam dan berubah, lalu muridnya ini menceritakan kepadanya dengan kata-kata yang memikat. Ia juga mengingatkan bahwa sebaiknya seorang penuntut ilmu itu menggunakan seluruh waktunya untuk urusan ilmu, lalu biasanya ia berdalil dengan perkataan salaf, “Jika seseorang memberikan seluruh waktunya untuk ilmu, ilmu akan memberi sebagian kepadanya.”
Seperti inilah kata-kata yang bergulir di lisan-lisan mereka. Mereka mengira bahwa dirinya telah memberikan gambaran yang indah tentang syaikhnya. Padahal, ia hanya semakin membuat orang tahu bahwa syaikh mereka itu adalah makhluk Alloh yang paling jahil, ia harus “dikarantina” dan tidak layak ditanya atau dimintai fatwa. Sebab, di antara syarat menjadi ahli fatwa (mufti) adalah memahami betul kondisi orang-orang di zamannya, mengerti pintu-pintu dan jalan dalam kehidupan. Kalau tidak, lantas apa makna ilmu yang Alloh turunkan kepada Rosul-Nya SAW? Untuk apa ilmu datang? Apakah untuk disimpan dalam goa-goa? Atau agar sebagian orang menikmatinya dalam kesendiriannya?
Berdasar pemikiran mundur dan jalan yang bodoh ini, mucullah di dunia Islam dualisme yang belum pernah ada di zaman awal. Sebagian orang mencoba – dengan menggunakan pengajaran-pengajaran tak bermutu— menjadikan hal ini sebagai salah satu kekhususan dunai modern yang harus ada. Padahal, pengkhususan ini jika terjadi, masing-masing dari dua fihak yang berbeda tersebut akan kehilangan spepesifikasinya.
Dualisme itu adalah:
Pertama: Pembedaan antara orang politik dan orang fakih. Politikus dalam pengertian orang adalah siapa yang mengerti urusan hidup, mampu menjelaskan kejadian-kejadiannya, yang dimintai saran dan ditanya tentang keadaan-keadaan dan fakta-fakta. Dan memang seperti itu, politikus adalah mereka yang berhak mengatur hidup dan menjaga kondisinya. Ini berangkat dari kemampuan berpolitik yang diberikan kepadanya. Adapun orang fakih, dia hanyalah penjaga kitab, tidak ditanya selain masalah yang tidak nampak. Politik adalah ilmu yang nampak, sedangkan orang fakih hanya punya ilmu tentang yang tidak nampak.
Ini adalah dualisme yang batil dan tidak dikenal di zaman awal dulu. Bahkan, kata-kata fikih tidak dipakai kecuali jika terkumpul dua perkara:
1. Mengerti hakikat kehidupan dengan sebenarnya, mengerti kejadian-kejadiannya, dan ini adalah fikih terbesar. Sebab Alloh Ta‘ala berfirman:

“Itulah permisalan-permisalan yang kami contohkan kepada manusia, dan tidak ada yang mengerti permisalan-permisalan itu selain orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut: 43)
Jadi, orang berilmu adalah yang mampu menjelaskan berbagai masalah dengan cara-cara alamiyah yang nampak jelas dalam dunia nyata, tetapi nilai akhirat tidak hilang darinya. Maka orang berilmu adalah yang menggabungkan keduanya sekaligus.
Di antara musibah yang menimpa perkataan-perkataan masyayikh kita tentang fakta-fakta dalam kehidupan adalah, bersandarnya mereka dengan prinsip penampakan kaum sufi, mereka berharap Alloh akan membukakan pemahaman kepada mereka dalam menafsirkan berbagai peristiwa. Dan ini semua termasuk perkataan yang batil dan palsu. Sebab, pengetahuan seseorang tentang sebuah peristiwa tidak akan benar kecuali jika ia mempelajarinya dengan pengkajian logis dan sesuai hukum-hukum sunatulloh, dan melihat secara apa adanya di dunia nyata. Dari sinilah, ia akan beranjak kepada perkara kedua, yaitu:
2. Mengetahui hukum Alloh yang harus diterapkan pada kejadian tersebut.
Maksudnya, setelah peristiwa kemudian ia datangkan hukum syar‘iynya. Dan tidak mungkin bagi siapa pun untuk menggunakan hukum syar‘iy yang benar melainkan jika ia memahami realita kejadian dengan benar. Jadi yang pertama adalah penciptaan, selanjutnya adalah syariat. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Ketahuilah, milik Alloh sajalah hak mencipta dan memerintah, Mahaberkah Alloh Robb seru sekalian alam.” (QS. Al-A‘rof: 54)
Setelah ia mengerti keserasian antara penciptaan dan perintah Alloh, pasti dia akan mengeluarkan kalimat-kalimat pensucian, pengagungan dan pengqudusan. Maka ia akan semakin yakin terhadap hikmah Sang Maha Pencipta, prinsip-prinsip yang dia pakai dalam memahami hikmah syariat akan semakin menancap kuat, ketika itulah ia kana mengatakan,

“Mahaberkah Alloh, robb seru sekalian alam.”
Kalau kita katakan bahwa seorang politikus adalah yang mengerti perkara pertama saja (ilmu yang nampak) tapi tidak mengerti perkara kedua (ilmu tentang hukum Alloh dalam hal yang nampak itu), maka yang seperti ini bukanlah politikus muslim. Dan selanjutnya, cara berfikirnya bertolak dari prinsip manfaat dalam mensikapi berbagai perkara, di mana prinsip seperti itu tidak memiliki rambu-rambu selain pertimbangan pribadi, atau syahwat yang berujung kepada rusaknya kehidupan.
Sebaliknya, jika kita katakan orang fakih adalah yang mengerti hukum syar‘iy tanpa mengetahui fakta-fakta dalam kehidupan apa adanya, maka ilmunya hanya akan tertahan dalam otak dan akalnya saja. Tidak ada sangkut paut sama sekali dengan kehidupan. Ketika ini terjadi, ia hanya akan berperan ibarat pemberi nasehat di gereja, yang hanya diperlukan orang seminggu sekali, yang akhirnya nanti akan memunculkan nafas-nafas kesesakan, bersamaan dengan berakhirnya omong kosong seorang syaikh.
Atas dasar ini, seseorang tidak dikatakan fakih (faham agama) menurut agama kita dan tidak disebut berilmu, kecuali kalau juga ia mengerti politik, apapun makna yang dimaksud dari kata ini.
Nah, bagi pemuda muslim, hendaknya ia cabut penghormatan yang pernah ia berikan kepada orang yang mengatakan, “Termasuk dari politik adalah tidak berpolitik.” Sebab, ketika ia tidak menjadi seorang yang mengerti politik, ia tidak bisa juga disebut orang fakih. Tapi ia adalah syaikh yang bodoh dan membodohi orang. Dan, kepada syaikh-syaikh bodoh seperti itulah thoghut bersandar, agar kebatilannya terhadap manusia terus berlanjut, dan supaya pembenaran syar‘iy tetap ada dalam dirinya.
Jadi, syaikh-syaikh kita ini seperti wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah, mereka memasang tabir, yang tabir itu baru mereka buka ketika pertunjukan penuh kebohongan dimulai di hadapan seorang toghut. Thoghut itu hendak membacakan nash-nash kebijaksanaan di hadapan mereka dan menunjukkan kepada mereka bahwa dirinya adalah menepati hak Islam dan pemeluknya. Kalau bukan demikian, tolong jelaskan kepada kami, harus kita namai apa sekawanan “binatang ternak” yang berkumpul mengelilingi thoghut itu, yang kepala-kepalanya terhiasi surban-surban buruk? Tidak lupa diucapkan simbol-simbol yang menipu pada jenggotnya (yang lupa ia pangkas karena saking bingungnya menghadapi hari itu), setelah itu ia keluar dari tempat thoghut sambil memuji-muji dan memberikan sanjungan, bahkan bersumpah dengan sumpah yang berat, bahwa penguasa kita adalah waliyyul amri yang sah secara syar‘iy dan wajib untuk ditaati.
Beginikah fikih memperlakukan pemiliknya?
Atau, seperti inikah para ulama?
Ataukah, orang paling fakih itu adalah Umar bin Khothob, ketika ia berkata, “Aku bukan penipu, dan penipu tidak bisa menipuku.”?
Demikian juga dengan shahabatnya, Hudzaifah, ketika ia berkata, “Para shahabat Rosululloh SAW bertanya kepada beliau tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan karena khawatir akan mengenaiku.”
Siapa sebenarnya orang fakih dan alim dalam agama kita?
Apakah contoh-contoh bodoh yang hidup di zaman kita itu, ataukah mereka yang dulu berhasil memimpin dunia dan menguasai kehidupan?
Sesungguhnya orang-orang bodoh yang tidak mengerti kehidupan dan apa yang terjadi di dalamnya, yang tidak mendengar pernyataan-pernyataan para pemimpin mereka di hadapan musuh, dan tidak mengerti sama sekali tentang gerakan negaranya dan ke mana ia berjalan, mereka itu layak menyandang aib menurut agama kita, dan termasuk hal memalukan kalau mereka masih menganggap dirinya ulama. Kalau kita masih rela menyematkan sifat ulama dan fakih kepada orang seperti mereka, tentu itu adalah celaan dan tuduhan buruk terhadap agama kita. Sebab sama saja kita telah mengajarkan kepada manusia bahwa ulama agama Islam dan orang yang faham akan syariat ini adalah orang yang bodoh tentang kenyataan hidup, dungu tentang zaman. Atas dasar ini, bagi kita mencela orang-orang seperti mereka dan tidak kita anggapnya mereka sebagai ulama, itu jauh lebih baik daripada kita memasukkan pada benak manusia gambaran yang kotor tentang sosok muslim yang fakih.
Kedua: Pembedaan antara Muqotil dan Fakih.
Saya merasakan keheranan dalam waktu cukup lama, mengapa para masyayikh itu memakai seragam jabatan, topi kehormatan di atas kepalanya, dan jubah hijau (seragam yang mewah), yang ukuran lengannya lebih lebar daripada barang temuan Abu Huroiroh RA menurut mereka. Namun, sekarang saya menemukan rahasia di balik penggunaan baju “memuakkan” ini. Barangkali, di antara sebab yang mendorongnya adalah supaya tertanam dalam benak manusia, dan sebelum itu dalam benak pemakai baju itu, bahwa mereka tidak pantas selain untuk berkata-kata saja.
Jadi, peran para masyayikh kita hanya sebatas mengeluarkan kata-kata. Dan suatu yang tabu serta aneh kalau seorang syeikh menjadi komandan militer, atau petempur yang hebat. Berikut ini adalah Muhammad Al-Ghozaliy, dengan terang-terangan dan aneh sekali, ia menyatakan bahwa dirinya tidak sanggup menyaksikan darah ayam ketika ayam itu sedang disembelih. Tapi kalau sudah melihat seekor ayam di atas meja makan, sudah barang tentu ia dan syaikh-syaikh lain yang menjadi temannya merasa senang.
Inilah gambaran terbalik dari para syaikh, yang menjadikan para pemuda bertanya-tanya, “Mengapa sejarah kita sekarang kosong dari para ulama sekaligus petempur? Dan secara umum, para pemuda kita menghormati syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh karena mereka melihatnya sebagai sosok yang di samping berilmu dan fakih, juga seorang ahli perang (muqotil). Mereka mengira tidak ada yang ulama lain yang seperti beliau, dan ini keliru. Sebab, tidak ada satu ulama pun di zaman dahulu melainkan ia juga seorang petempur kelas satu. Bahkan, sebagian mereka menduduki posisi komandan militer, seperti Asad bin Al-Furot. Dan kebanyakan ahli hadits dulu mengarang kitab-kitabnya dan membuat majelis-majelis penyampaian hadits dalam suasana ribath (berjaga-jaga) dalam perang, di daerah-daerah perbatasan kaum muslimin.
Dualisme batil seperti ini, pembedaan antara ahli pemerintahan dengan orang fakih, antara seorang komandan dan fakih, dan lain sebagainya, memberi gambaran buruk tentang hakikat orang muslim yang fakih.
Mewaspadai Pengaruh Ilmu Orang-orang Yang “Kalah Sebelum Bertempur”,

“…apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya), tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Aparat keamanan memusuhi kita, di Mesir, di Maroko, di Yordania, di Yaman, di Kuwait, dan lain-lain, kapan saja, dengan tunduhan memiliki organisasi-organisasi yang mereka imajinasikan sendiri atau kasus-kasus tertentu, sehingga akhirnya anggota-anggotanya ditangkapi dari waktu ke waktu, dengan mengatasnamakan organisasi Al-Qaeda Kuwait, Al-Qaeda Yordania, Yaman, orang Arab Alumni Afghan, dan istilah-istilah lain.
Ini adalah masalah yang sangat kita fahami apa sebab-sebab penguasa-penguasa negeri itu tunduk di bawah kaki majikannya, Amerika.
Pemerintahan-pemerintahan ini hidup dari sampah meja makan Amerika, dan di setiap kesempatan berusaha sebisa mungkin meraih kecintaan dan keridhoannya, walau pun harga yang harus dibayar adalah terkorbannya air muka yang masih tersisa, membantai dan membunuhi putera-putera terbaik kita sendiri, dengan tuduhan berbagai istilah yang dibuat sendiri oleh para algojonya setiap saat, yang dengan itu mereka ingin meraih keridhoan majikan-majikannya.
Akan tetapi, yang dari saya belum bisa memahaminya adalah sikap mundur dan mengalah yang begitu terang-terangan, di mana hari ini banyak menimpa kebanyakan pelaku dakwah dan pengemban ilmu di negeri-negeri kita.
Amal-amal jihad yang sudah dilancarkan ikhwan-ikhwan kita, para mujahidin, yang telah berhasil mempermalukan orang-orang yang berusaha menjinakkan pemuda Islam dan mengkebiri agama mereka sejak puluhan tahun, hari ini menghadapi serangan orang-orang yang “kalah sebelum perang” itu, yang mereka berusaha memperburuk gambaran jihad itu dan membuang keabsahannya secara syar‘iy, serta secara dusta mereka anggap itu perbuatan mungkar.
Orang-orang yang kalah itu, yang mengisi mimbar-mimbar informasi, dakwah, khutbah, dan pelajaran, melancarkan serangan-serangan melemahkan dan menjelekkan itu setiap kali mujahidin selesai melakukan amaliyah jihadiyah. Mereka mengatasnamakan serangannya dengan sikap berfikir panjang dan bijak di hadapan pemuda muslim yang telah merasakan lezatnya ‘izzah dalam jihad dan mencari mati syahid, setelah selama puluhan tahun merasakan kehinaan dalam sikap duduk-duduk (tidak berjihad).
Terkadang, mereka menuduh mujahidin dengan “pedang” yang pernah dipakai Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid‘ah Khowarij, yang dulu memberontak pemerintah yang sah.
Terkadang, mereka bersikap seperti Umar ketika memperlakukan orang-orang yang ghuluw.
Jika tidak berhasil, mereka mencoba meminta bantuan penguasa mereka, dengan mendorongnya untuk mengadili atau menghentikan langkah mujahidin. Sebab, mujahidin bagi mereka hanya memperburuk citra Islam, membuyarkan masa depan umat dan kemenangan-kemenangannya.
Sungguh, mereka telah memperlakukan sebuah bentuk teror pemikiran yang paling dahsyat. Bahkan, mereka melakukan apa yang pernah dilakukan para pendeta di abad pertengahan, yang membagikan ijazah-ijazah pengampunan; mereka membagikan label salafiyah, berfikiran logis, bersikap matang, dan lain-lain, hanya kepada orang yang berjalan sesuai dengan dakwah “mengalah” mereka.
Sebaliknya, mereka merampas gelaran itu dari setiap mujahid, lantas mensifati mereka sebagai orang yang kaku, tertutup, terbelakang, terburu-buru, suka membuat keributan, dan istilah lain yang ada dalam kamus teroris milik orang-orang yang kalah…
Ketika kami masih muda dan sedang semangat-semangatnya, aku punya seorang syaikh yang sangat kukagumi. Ia punya banyak catatan dan kritik terhadap manhaj Ikhwanul Muslimin.
Suatu hari, aku bertanya kepadanya tentang sang Komandan sekaligus Mujahid, Marwan Hadid Rohimahulloh. Pertama-tama, ia memuji dan menyanjungnya, dan mengkisahkan beberapa kelumit tentang jihadnya dan keteguhannya di hadapan kaum Nushairiyyin di Syam, serta keteguhannya ketika ia dipenjara walau pun mengalami penyiksaan yang keras. Setelah itu, aku bertanya kepadanya, apakah Marwan termasuk dari Ikhwanul Muslimin? Maka ia berkata dengan nada mengkritik, “Ia diberhentikan dan sudah diingatkan lantaran ia dianggap suka membuat kerusuhan, dia bisa merobohkan program-program dakwah, atau semacam itu lah.”
“Apa maksud mereka?” tanyaku.
Ia berkata, lagi-lagi dengan nada mengkritik, “Maksud mereka, ia menyukai jihad dan terlalu bersemangat dalam urusan itu, di samping itu ia juga membakar semangat para pemuda untuk melakukannya.”
Setelah percakapan itu, tahun demi tahun berlalu dan kami terpisahkan oleh berlalunya hari. Suatu ketika, aku kaget dan prihatin dengan syaikhku ini, setelah fondasi jamaah yang ia pimpin tersebar luas, pengikutnya bertambah banyak dan sudah memiliki beberapa yayasan dan majalah, ia sering sekali menyebut para mujahidin hari ini dengan sifat yang pernah ia kritikkan kepada Ikhwanul Muslimin dulu.
Sebentar, wahai syaikh yang mulia. Dulu, aku sangat mengagumimu, sekarang hancurlah sudah harapanku, rusaklah sudah kekagumanku.
Dalam hadits Nabi pilihan SAW disebutkan,

“Setiap amal itu ada masa semangatnya dan ada masa lesunya. Maka siapa yang masa lesunya kembali kepada sunahku, sungguh ia telah mendapat petunjuk. Dan siapa yang masa lesunya kepada selain itu, maka ia hancur…”
Dan sungguh, kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana kelesuan para masyayikh, jamaah-jamaah, dan gerakan-gerakan Islam hari ini, karena kecenderungan kepada dunia, mundur dalam memegang komitmen manhaj, mundur dari perkara-perkara baku dan prinsip, dengan menggunakan kedok pembaharuan, koreksi ulang, reformasi, dan membuka wawasan baru.
Atau barangkali disebabkan tekanan realita kehidupan modern, dan suara media informasinya yang gegap gempita.
Atau barangkali disebabkan kelemahannya dalam mengikuti jalan yang benar.

“…apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya), tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
Banyak sekali jamaah-jamaah Islam mau pun pimpinan-pimpinan gerakan shohwah Islamiyah --sebagaimana istilah mereka—, yang berperan dalam menipu para pemuda, ketika mereka kumpulan pemuda itu di sekeliling mereka, atau ketika mereka berusaha untuk mengatur mereka dalam wadah jamaah mereka, dengan mengobarkan semangat mereka dengan khutbah-khutbah yang memikat tentang masalah jihad, tulisan-tulisan yang berbobot dan penuh dengan semangat yang mendalam; namun ketika pengikut sudah banyak dan para pemuda itu berkata, “Mari kita menuju ‘izzah yang kalian kumpulkan kami karenanya. Mari berjihad, yang kalian telah membuat kami mencintainya,” para masyayikh itu membuat kebohongan dan sekelompok dari –setelah mendapat tekanan dari para pemuda—terpaksa mengarahkan mereka untuk berjihad di negeri yang jauh, seperti Cechnya, Afghanistan, Bosnia, atau di tempat lain. Yang penting, bagaimana dengan jihadnya pemuda itu berada jauh dari negeri tempat para masyayikh itu tinggal, di mana berbagai kepentingan mereka dan “kepentingan dakwah” mereka berada di sana.
Begitu para pemuda itu pergi ke medan-medan perang dan mereka telah merasakan lezatnya ‘izzah dalam jihad, dan tutup-tutup di mata mereka hilang –di mana para dai penyebar fitnah dan kesesatan di negeri kita turut berperan dalam mempertebal tutup itu—, mereka pulang ke negerinya bukan dengan wajah ketika dulu mereka pergi.
Maka, mulailah mereka melontarkan berbagai pertanyaan kepada para masyayikh mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat para masyayikh itu sesak..Mengapa jihad melawan Rusia disyariatkan, sedangkan jihad melawan Amerika adalah pengkhianatan dan pembatalan janji?
Mengapa jihad di Cechnya dan Afghanistan dianjurkan, sedangkan jihad di Arab-istan dimurkai, dilarang, dan dijauhi, demikian juga dengan pelakunya?
Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh para masyayikh itu dengan jawaban yang memuaskan...
Wahai para masyayikh sohwah, bukan di antara kalian dulu ada yang mengajarkan kepada kami tentang murtadnya penguasa yang membuat undang-undang dari agama yang tidak diizinkan oleh Alloh? Dan dulu kalian memaparkan prinsip itu sebagai prinsip syar‘iy kepada kami?
Tapi ketika kami menuntut kalian untuk memberi solusi syar‘iy yang manjur sesuai perintah Nabi Pilihan ketika kita menyaksikan kekufuran nyata pada diri para penguasa, kalian malah berhenti dan kalian mengecam kami serta menuduh kami dengan tuduhan yang keji...
Bahkan, dengan sengaja kalian melancarkan serangan kepada kami, padahal dulu kalian membimbing kami. Kalian tuduh kami sebagai tukang rusuh, ngawur, terburu-buru, menghancurkan hasil-hasil yang sudah dicapai oleh gerakan kebangkitan Islam, dan menyebabkan perjuangan Islam mundur selama ratusan, bahkan ribuan mil ke belakang.
Ketika suatu saat hasil yang dicapai para masyayikh dan jamaah-jamaah itu sampai pada tingkatan mengancam eksistensi pemerintahan-pemerintahan tersebut dan tokoh-tokohnya yang busuk, dan ketika umat dan para pemudanya turun ke jalan-jalan sementara darah dalam urat musuh-musuh Alloh itu telah membeku karena ketakutan, para masyayikh itu justeru membekukan keberanian yang tertanam dalam diri para pemuda, mereka padamkan kobaran dan panasnya perasaan‘izzah serta jihad dan nyala apinya.
Kami juga mendengar mereka setelah itu berbangga diri dan berdendang, bahwa mereka telah sukses dalam mengarahkan umat, menjaga hasil-hasilnya yang telah dicapai, berhasil menenangkan para pemuda, mengatur dan mengarahkan mereka menuju “parit-parit undian” atau pemilihan umum…demi menjaga persatuan negara dan menjaga pertumpahan darah…! Sungguh celaka, sungguh celaka…
“…tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
Bagaimana bisa orang-orang sesat seperti Rafidhah itu, lebih berani dan lebih bisa menggunakan kesempatan daripada Ahlus Sunnah?
Hasil perjuangan apakah itu, yang menyebabkan kita mengkaburkan masalah-masalah prinsip, kendur dalam memegang masalah mendasar, menyimpang dari jalan yang lurus, dan kita kebiri para pemuda, hanya karena alasan menjaga hasil tersebut?
Dalam beberapa puluh tahun terakhir yang berlalu di bawah payung kekuasaan thoghut, sudah berapa darah yang kita korbankan? Berapa lama umur dan nyawa yang telah kita korbankan di penjara, di tempat-tempat penyiksaan, di tiang-tiang gantungan, dan kebanyakan itu tidak mendapatkan balasan? Lantas, tidak bolehkan kalau kita berikan sebagian pengorbanan itu dalam rangka berjihad untuk membabat kepala-kepala kesyirikan thoghut yang busuk itu?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang kini diulang-ulang para pemuda, di mana mereka tidak mengetahui, bahkan terbetik pun tidak, sebelumnya.
Semua itu, menurutku, adalah bagian dari berkah aksi perlawanan terhadap musuh, bagian dari kabar gembira-kabar gembira dari pertempuran-pertempuran sengit yang menjadikan generasi ini menganggap dekat panjangnya padang pasir dan jarak yang jauh. Banyak di antara para pemuda itu yang dalam beberapa hari sampai kepada petunjuk yang terang dan jalan yang lurus, yang sebelumnya kita mencari-carinya sembari berenang melawan arus deras berupa syubhat-syubhat dan sikap-sikap serampangan para masyayikh, selama dua dekade belakangan ini. Pertempuran-pertempuran sengit berhasil melenyapkan tutup tebal yang ada di mata manusia, dan manusia benar-benar terbagi kepada dua kubu…
Pertempuran-pertempuran itu juga berhasil menelanjangi dan mempermalukan para ulama dan masyayikh serta orang-orang yang hingga kini masih berjalan tanpa petunjuk bersama barisan orang-orang dzalim, yang mana mereka mengkotori dakwahnya dengan menceburkan diri dalam parit penuh lumpur, mereka ikut dalam yayasan-yayasan dan markaz-markaz kesyirikan. Sebagian mereka malah begadang di malam hari dalam rangka menghitamkan wajah dan lembaran-lembaran tulisannya, untuk menjadikan para thoghut pengkhianat itu sebagai waliyyul amri yang sah secara syar‘iy, sebagai pemimpin kaum muslimin yang wajib didengar dan ditaati, serta tidak boleh memberontak kepada mereka dalam kondisi apa pun.
Di satu sisi, kini telah muncul para pembela dan tentara baru yang dulu tidak populer. Kini Alloh angkat nama mereka, dengan menjadi pasukan di garis depan dengan pembelaan yang mereka berikan kepada agama ini dan bergegasnya mereka untuk membela apa yang oleh para pemuka agama itu disia-siakan.
Mereka akan menarik permadani di bawah kaki-kaki para pelemah semangat itu, dalam keadaan suka atau tidak. Para pemuda akan beralih memberikan kepercayaannya kepada mereka dan akan berkumpul di sekeliling mereka, cepat atau lambat. Keunggulan mereka dalam memberikan pembelaan kepada agama telah mengubah mereka menjadi para mujahidin yang jujur dan jelas misi membela agamanya.
Oleh karena ini, mereka harus berada di depan barisan, karena itulah peran mereka. Adapun sekelompok orang yang hanya banyak bicara dan kalah sebelum berperang itu, biarlah mereka berada di tempat sampah sejarah, peran mereka sudah habis.

“…apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya), tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
Ada seorang pemuda menulis sebuah artikel yang menggambarkan perasaan yang sama sebutkan di atas, judul artikel itu: “Contoh-contoh “Salafi” ala Amerika dan Teluk”.
Ia mengatakan, “Seorang pemikir bernama Malik bin Nabiy dalam bukunya Syarat-syarat Kebangkitan, membahas tentang salah satu kekurangan yang menimpa sebuah gerakan reformasi di Aljazair kala itu. Yaitu, para ulama gerakan tersebut, demikian juga para dainya, menceburkan diri dalam lumpur politik atau pertempuran melelaui pemilihan umum –yang biasa mereka sebut dengan pertempuran berhala—, akhirnya mereka jatuh dalam lumpur sampai lumpur itu menodai baju mereka yang putih, dan tujuan perbaikan mereka ternodai dengan lumpur serta runtuh tak bernilai lagi.”
Kita sekarang berada di hadapan sebuah contoh baru, tentang jatuhnya beberapa kelompok harakah Islam. Hanya saja, terjatuhnya kali ini lain daripada sebelum-sebelumnya, yaitu lebih dalam dan lebih basah lagi ia terjatuh dalam kubangan lumpur. Sebabnya, kesalahan harakah-harakah Islam dulu tidak separah sekarang, karena yang terjadi sekarang berlepas diri secara total, menyobek-nyobek jati diri, menjual prinsip, memalsukan perkara-perkara syar‘iy yang prinsip, dan mengkaburkan agama.
Dan benar, saya katakan kepada kalian, bahwa bahaya yang kini muncul dalam tubuh umat dari harakah-harakah ini, dan dari perjalanannya menyertai kaum muslimin, barangkali melebihi bahaya kaum yahudi dan nashrani yang mengancam umat Islam sejati dan para mujahidin, walau pun mujahidin tidak akan terpengaruh dengan orang yang melemahkan semangat mereka hingga tiba ketentuan Alloh. Sebab, kejahatan agama-agama dan kelompok itu jelas sekali, bisa dilihat, dan sangat mungkin dihadapi. Karena bahayanya terlihat, keburukannya jelas. Hanya, ketika harakah-harakah yang menggunakan pakaian Islam, tapi di saat yang sama ia sama sekali kosong dari nilai keislaman yang hakiki, memalingkan rakyat dari tujuan Islam yang pertama dan sebenarnya yaitu: menjadikan seluruh agama itu hanya milik Alloh, maka dengan itu harakah tadi berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang-orang kafir, dan telah membantu mereka dengan bantuan yang luar biasa besar. Dengan memakai kedok yang seolah-olah syar‘iy dan manhaj yang menurut mereka nyunnah, mereka berhasil memunculkan sebuah contoh unik bagi kaum muslimin, yaitu Islam yang salafi sekaligus pro Amerika. Itulah model Islam yang membatasi nama dan sifat Alloh hanya pada penetapan bahasa saja, tapi membuangnya dari kamus menentukan hukum.
Itulah manhaj yang mengkosongkan masjid-masjid dari peran sesungguhnya, yaitu melahirkan dan mempersiapkan batalyon pasukan kebenaran yang berperang di jalan kebenaran tersebut, dalam satu barisan seperti bangunan yang tersusun rapat, dengan kemudian merubah perannya –dengan alasan menetapkan patroitisme terhadap waliyyul amri— menjadi tempat ibadah sebagaimana ibadah-ibadah umat lain, hanya dibedakan dengan tidak adanya kayu salib dan tidak ada bunyi lonceng ditabuh.
Itulah manhaj yang “menyembelih” makna Al-Wala dan Al-Baro’ di hadapan pintu-pintu penguasa..!
Itulah manhaj, yang dipermak dengan dalil-dalil syar‘iy yang bersesuaian dengan “mashlahat syar‘iy” menurut kesenangan “waliyyul amri” sehingga kursi kekuasaan penuh perhiasan mereka itu tetap langgeng.
Sedangkan ayat-ayat jihad yang tegas, jelas, gamblang, dan qath‘iy makna yang dimaksud…adapun ayat-ayat tentang penegakkan negara Alloh secara nyata di muka bumi…maka semua itu tidak ada tempat dalam diri para pemilik manhaj itu kecuali hanya sebatas bacaan mad, idghoom, isymaam, dan (seperti dalam hadits) “Lagukanlah Al-Quran, siapa tidak melagukan Al-Quran maka ia bukan dari golongan kami.”
Percayakah kalian, wahai tuan-tuan, bahwa tiga bulan lalu Menteri Waqaf dan Urusan Islam dari salah satu negara Teluk (Arab Saudi maksudnya, dan menteri itu adalah Sholeh Ali Su‘ud) mengeluarkan pernyataan yang melarang para khatib dan imam masjid untuk mendoakan kehancuran bagi yahudi dan nashrani?
Sebentar, yang memalukan bukan di sini. Tetapi begitu cepatnya salah satu jamaah yang mengenakan pakaian “salafi” tak lama setelah itu, mengeluarkan pernyataan resmi dan tertandatangani, yang isinya menyetujui pernyataan menteri tadi, bahkan mereka coba berbaik hati dengan berusaha merubahnya menjadi fatwa. Alasannya, dibolehkan dari segi siyasah syar‘iyyah yang dipandang waliyyul amri bisa mendatangkan mashlahat bagi Islam dan kaum muslimin, memerintahkan para dai dan khatib untuk berhenti mendoakan kehancuran kelompok-kelompok kafir tertentu, karena melihat adanya perjanjian dan ikatan antara mereka dengan kaum muslimin, di mana maslahat itu akan hilang jika mereka dilaknat.
Yang mengherankan di sini, presiden Amerika sendiri tidak mengeluarkan pernyataan yang sama terhadap khatib dan dai-dai yang menjadi pembantu mereka. Namun menteri itu dengan mudah melewati masalah doa yang barangkali menurutnya akan membahayakan kepentingan Amerika dan negara-negara yang memiliki hubungan dengannya, baik berupa perjanjian, hubungan biasa, atau pemberian hutang. Ia juga memakai maslahat syar‘iy yang khusus terkait dengan peristiwa itu secara langsung. Akhirnya, dalam satu pekan yang lalu, keluarlah peraturan yang memaksa pemerintah Amerika untuk mengakui Al-Quds sebagai ibukota Israel!
Betapa sangat mengherankan sekali, ketika jamaah-jamaah yang tanpa malu memakai nama salafiyah itu memperhatikan “maslahat-maslahat syar‘iy” para penguasa kita, dan di waktu yang sama George Bush merasa dirinya lebih nyalaf daripada mereka. Tetapi begitulah, kalau dalam hadits disebutkan: “Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu,” maka kondisi realita hari ini seolah-olah mengatakan, “Jika kamu telah melepas agamamu dan mengkaburkan prinsip-prinsipnya, maka kamu akan dipermalukan di mana saja.”
Contoh sosok Salafi ala Amerika tidak berhenti sampai di sini saja. Lebih parah lagi ada kelompok Salafi terbesar di negara Teluk yang mengeluarkan pernyataan ngawur pasca kejadian 11 September. Dalam pernyataan itu dikatakan, “Kami berada dalam satu barisan bersama Amerika Serikat dalam memerangi terorisme.”
Karena itulah, kami merasa wajib menamakan segala hal sesuai namanya yang syar‘iy. Apa yang kami pandang tadi adalah sikap pelepasan diri dari prinsip-prinsip syariat yang utama, seperti telah kami jelaskan; bukan sekedar kesalahan yang bisa kami lupakan begitu saja. Juga karena perbedaan pendapat itu sekarang telah berubah dalam masalah pokok, di mana manhaj salaf yang benar sama sekali tidak bersesuaian dengan permainan salafi ala Amerika, Allohumma…kecuali dalam urusan baju dan jenggot.
Namun, apakah kalian ingin yang lebih jelas lagi dari ini?
Baiklah, Alloh Ta‘ala berfirman:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian, dari kalangan orang-orang yang diberi Al-Kitab, sampai mereka menunaikan jizyah dari tangan sementara mereka dalam keadaan hina.” (QS. At-Taubah: 29)
Ayat yang tegas maknanya ini disikapi secara jelas oleh para pemegang manhaj salafi yang benar, sementara orang yang hanya bermain-main dengan manhaj salaf akan menamai jihad seperti penamaan Amerika (kekerasan dan terorisme).
Barangkali ada di antara mereka yang langsung bereaksi dan berteriak, “Apakah kamu mau berbicara perang dengan kami, sementara kita tidak memiliki sebab-sebab untuk melaksanakannya?”
Saya katakan, “Saya sedang tidak dalam dialog yang sah, tentang orang yang sudah berkorban untuk menempuh sebab-sebab itu tetapi kemudian kalian lemahkan semangat mereka. Akan tetapi, kami hanya meminta kalian untuk tetap bersikap dengan Al-Wala dan Al-Baro yang benar.”
Tetapi, ikhwan sekalian… kelemahan dan jatuhnya mereka tidak berhenti pada masalah Al-Wala dan Al-Bara yang ingin disesuaikan dengan kepentingan politik pribadi para “waliyul amri” itu. Lebih dari ini, orang-orang yang bermain-main itu sudah sampai pada tingkatan pengkhianatan sya‘iy paling rendah dalam agama kita. Kalau engkau melihat begitu besar pengorbanan para pemegang manhaj salaf yang sesungguhnya dalam mengerahkan segala kesungguhan dan upayanya untuk meninggikan panji Alloh di muka bumi, bahkan rela mengorbankan nyawa dan apa saja yang mahal serta berharga, maka di sisi lain engkau lihat mereka ada di posisi yang sangat bertentangan. Mereka justeru mengerahkan kesungguhan dan upayanya dalam membenarkan apa yang menjadikan kita hina di hadapan musuh dan melenyapkan harga diri kita di depan mereka. Tak hanya itu, mereka bahkan menganggap setiap upaya pengembalian harga diri kita dengan jihad sebagai perkara yang membahayakan maslahat politik “waliyyul amri”…!
Benar-benar aneh, Rosul SAW bersabda dalam hadits yang disepakati keshohihannya,

“Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad, kecuali mereka hina.”
Tiba-tiba orang-orang yang bergelar Al-‘Allaamah, Samaahatus Syaihk, Fadhilatus Syaikh, itu datang untuk membenarkan prinsip setiap kaum yang meninggalkan jihad, akhirnya mereka pun hina, bahkan seperti sepotong kain, dan mereka membenarkan kehinaan ini, membenarkan hilangnya harga diri. Dan selagi harga diri serta kemuliaan itu membahayakan kepentingan politik “waliyyul amri”, maka –menurut mereka—agama kita memerintahkan kita untuk menjadi bangsa terendah di seluruh bola bumi ini.
Baru beberapa hari yang lalu, Menteri Luar Negeri Kuwait, Syaikh Shobah Ahmad, berbicara kepada rakyat Kuwait, “Kita terancam dengan senjata kimia, dan kita pasti akan terkena Thosyar (hal. 94), dan kita tengah berada dalam peristiwa itu.”
Pernyataannya ini hampir menutup halaman muka dari lima koran terbesar di Kuwait. Akibatnya, bursa saham anjlok, harga sebagian barang naik, dan bangsa kita yang miskin ini akan tergoyang, dan orang setiap harinya tak henti-henti membicarakan kondisi ketika Amerika nanti menyerang Irak, yang nampaknya akan terjadi sebentar lagi.
Dalam suasana sulit ini, bayangkan saja kementerian Waqaf dan Urusan Islam kita mengeluarkan pernyataan resmi kepada para khatib dan imam-imamnya untuk tidak ikut campur dalam membicarakan masalah serangan Amerika ke Irak. Pernyataan itu mengisyaratkan untuk tidak menyinggung masalah politik apa pun di atas mimbar-mimbar khutbah, siapa melakukannya maka ia akan diinterogasi.
Akan tetapi, keheranan itu akan hilang manakala dirimu mengetahui bahwa menteri Departemen ini sekarang adalah salah seorang salafi beraliran parlemen, yang memiliki kelebihan rasa cinta tanah air yang hebat. Ia mengangkat simbol-simbol salafi, akan tetapi kebangsaan di atas segalanya.
Apakah kalian menyaksikan bagaimana sekarang kondisi masjid-masjid di bawah naungan neo-salafi itu? Tahukan kalian, bagaimana masjid-masjid itu terkekang peranannya hanya dalam sholat lima waktu saja? Bukankah kalian bersamaku dalam menyaksikan penanaman benih sekulerisme baru? Itulah sekulerisme salafisme.
Tidakkah kalian melihat, bahwa “syaikhul Islam” yang khusus menangani kelompok “salafi” ini adalah Al-Imam Al-Allamah Anwar Sadat? Mereka mengikuti jejak-jejaknya, tidak ada pengaturan politik dengan agama, dan tidak ada pengaturan agama dengan politik, wahai orang-orang mulia…!
Dulu, pemikir bernama Malik bin Nabiy mengatakan bahwa dengan masuknya para dai ke dalam kancah pertempuran pemilu, berarti mereka telah memasuki pertempuran berhala. Lain dengan sekarang, seolah realita hari ini menyatakan bahwa sebagian dai zaman sekarang tidak hanya mundur dari manhaj yang benar dengan masuk ke pertempuran memperebutkan berhala itu, tapi mereka telah berbuat di luar batas, yaitu menjadi para penyeru dan penjaga berhala-berhala itu.”
Dua puluh tahun lalu, pernahkah kita mengimpikan akan mendengar kata-kata seperti ini dari tokoh dakwah di sana, apalagi dari seorang pemuda Kuwait? Apakah setelah perang kemerdekaan yang Kuwait memberikan satu suara untuk mengakui Amerika, kita pernah bermimpi akan menyaksikan ada dari pemuda Kuwait yang melakukan aksi gagah berani seperti yang dilakukan dua mujahid di Pulau Vilka?
Dalam baris-baris tulisan ini, dan sebelum kuakhiri kata-kataku, terjadi perbincangan dari beberapa kawan yang mulia dari Jazirah Arab. Mereka membahas kesedihan dan sekaligus kabar gembira sama dengan yang kusampaikan. Mereka menceritakan kepadaku, bagaimana pandangan para pemuda yang mulai melihat kepada manhaj ini (jihad, pent.), sampai dari mereka ada yang sangat mencintai petikan dan tulisan-tulisan tentangnya padahal jenggotnya belum lagi tumbuh, dan ia belum memegang tanda-tanda lahiriyah Islam maupun penampilin orang yang dalam agamanya. Ini tentu membuat banyak manusia heran. Para pemuda, yang belum sempat belajar di ma‘had-ma‘had syar‘iyyah, tidak pernah duduk dalam majelis-majelis ilmu untuk jangka waktu yang lama, tapi mereka sudah mengerti jalan ini dan menjadi para pembela tauhid dan jihad hanya dalam beberapa hari. Di satu sisi, para tokoh dakwah dan ahli berpendapat, masih saja berjalan dalam belenggu “mashlahat” dan “mafsadah”, padahal itu membunuh sifat kesatria dan mengkebiri agama.
Semua ini adalah berkah dari serangan penuh berkah, di New York, Washington (11 September, pent), serta aksi-aksi jihad yang menghinakan musuh lainnya. Semua itu adalah berkah dari perlawanan, jihad dan perang ketika semua ini disebut, orang yang hatinya berpenyakit akan melihatmu seperti pandangan orang yang pingsang karena takut mati.
Wahai orang-orang yang kalah sebelum berperang, kalian tidak akan berhasil membelokkan agama kami dan menghilangkan prinsip-prinsip bakunya…
Di dalam agama kami ada satu surat utuh, namanya surat Al-Qitaal (peperangan) –surat Muhammad, pent.—
Di dalam surat tersebut, Alloh Tabaroka wa Ta‘ala berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman berkata: “Mengapa tiada diturunkan suatu surat?” Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka.. Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka), apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya) tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Al-Qital: 20 – 21)
Apa yang akan kalian kerjakan terhadap satu surat penuh dalam Al-Quran ini?
Tidak mungkin dan bagaimana bisa kalian akan merubah sesuatu yang sudah jelas maksudnya (muhkam)?
Ataukah kalian akan menghapus dari benak kami, sebuah tanda dan gunung serta pasak yang kokoh seperti ini?
Benar, peristiwa-peristiwa besar tersebut telah menyingkap wajah buruk manusia, tapi di sisi lain menghidupkan dan mengangkat manusia lainnya…
Peristiwa-peristiwa itu juga memaklumatkan dibukanya lembaran baru dalam sejarah umat Islam, maka siapa yang mau silahkan bergabung dengan rombongan ini…
Dan siapa yang mau, silahkan duduk-duduk bersama bersama mereka yang duduk…

“…tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”

1 comment:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    ReplyDelete