Friday, January 28, 2011

AKU TAKKAN LUPAKAN ILMU

AKU TAKKAN LUPAKAN ILMU

Oleh : Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc


akutaklupaMerupakan nikmat dan anugerah yang besar bagi seorang muslim dapat berjalan di atas kebenaran, mencari ridha Allah dan menggapai surgaNya kelak. Dalam perjalanan seorang muslim, tak jarang dirinya lupa sehingga perlu diingatkan, kadang juga ia lalai sehingga membutuhkan teguran, belum lagi apabila ia keliru sehingga ia mencari pelita yang dapat meluruskan langkah dan arahnya. Berikut ini penulis mengajak dirinya dan ikhwah sekalian untuk merenungi lagi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan pemahaman Salafus Shalih. Menyegarkan kembali ingatan kita bersama tentang kemuliaan ibadah melalui thalabul ilmi, agar semangat tak menjadi surut, terlebih di hadapan berbagai ujian dan cobaan kehidupan duniawi. Semoga dapat bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan bagi seluruh pembaca, amin….


Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang keutamaan ilmu, banyak ayat dan hadits serta perkataan dan kisah teladan para ulama salaf yang menunjukkan hal ini, diantaranya adalah :
  • Menggapai kemuliaan dengan ilmu syar`i
Allah berfirman : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat {footnote}Qs Al-Mujadilah : 11{/footnote}
Ath-Thabari berkata, "Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka (jika mereka mengamalkan ilmu tersebut. pent).{footnote}Tafsir Ath-Thabari ; Qs Al-Mujadilah : 11{/footnote}
Asy-Syaukani berkata, "yaitu derajat yang tinggi dengan kemuliaan di dunia dan pahala di akherat"{footnote}Tafsir Asy-Syaukani ; Qs Al-Mujadilah : 11{/footnote}
Suatu hari Nafi` bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Khattab) di daerah `Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi`); Umar bertanya, "Siapa yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi penduduk Mekah?", Nafi` menjawab "Ibnu Abza", Umar bertanya, "Siapa Ibnu Abza?", Nafi` menjawab, "Seorang budak", Umar, "Engkau telah memberikan kepercayaan kepada seorang budak?!", Nafi`, "Sesungguhnya ia hafizh Al-Qur`an dan berilmu tentang faraidh (yakni hukum-hukum islam)". Kemudian Umar berkata, "Sungguh Nabi kalian telah berkata: "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain karenanya."”{footnote}Shahih Muslim: 817{/footnote}
Ibrahim Al-Harbi berkata "Seseorang bernama `Atha bin Abi Rabah adalah budak berkulit hitam milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung `Atha pesek seperti kacang (sangat kecil). Suatu hari Sulaiman bin Abdul Malik sang Amirul Mukminin bersama kedua anaknya mendatangi `Atha yang sedang shalat, setelah selesai dari shalatnya ia menyambut mereka. Masih saja mereka asyik bertanya kepada `Atha tentang manasik haji kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya "wahai anak-anakku, jangan kalian lalai dari menuntut ilmu, sungguh aku tidak akan lupa telah berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu ini)". Dalam kisah yang lain Ibrahim Al-Harbi berkata "Muhammad bin Abdurrahman Al-Auqash adalah seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke badannya sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan kasih sayang ibunya berpesan "wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau berada di sebuah majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka hendaklah engkau menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu". Ternyata (ia mematuhi pesan ibunya. pent) sehingga suatu saat dipercaya menjadi Hakim Agung di Mekah selama dua puluh tahun".{footnote}Lihat Tarikh Baghdad 2 : 309, Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 1 : 501-502{/footnote}
Al-Muzani berkata, "Aku pernah mendengar Imam Syafi`i berkata: "Barangsiapa mempelajari Al-Qur`an maka akan mulia kehormatannya, barangsiapa mendalami ilmu fikih maka akan agung kedudukannya, barangsiapa mempelajari bahasa (arab) maka akan lembut tabiatnya, barangsiapa mempelajari ilmu berhitung maka akan tajam nalarnya dan banyak idenya, barangsiapa banyak menulis hadits maka akan kuat hujjahnya, barangsiapa yang tidak menjaga dirinya maka tidak akan bermanfaat ilmunya".{footnote}Diriwayatkan dari Imam Syafi`i dari beberapa jalan, lihat Miftah Daris Sa`adah 1 : 503{/footnote}
  • Menuntut ilmu adalah jalan menuju surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa menempuh sebuah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalannya menuju surga".{footnote}HR. Muslim no : 2699 dari Abi Hurairah{/footnote}
Beliau juga bersabda "Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali".{footnote}HR Tirmidzi no : 2323, Ibnu Majah no : 4112 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no : 186 dari Anas{/footnote}
  • Dengan menuntut ilmu segala pintu kebaikan dan maghfirah serta pahala akan dilimpahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberikan kepahaman tentang agama."{footnote}HR Bukhari 1 : 150-151, 6 : 152, dan Muslim 1037 dari Mu`awiyah{/footnote}
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, "Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputus semua amalannya kecuali dari tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakannnya"{footnote}HR Muslim 1631 dari Abi Hurairah{/footnote}
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda "…dan sesungguhnya para Malaikat akan merendahkan sayap-sayap mereka bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha terhadap yang dilakukannya, Sungguh seorang yang berilmu akan dimintakan ampun baginya oleh semua yang ada di langit dan bumi sampaipun ikan di lautan, keutamaan seorang yang berilmu atas seorang ahli ibadah bagaikan keistimewaan bulan di hadapan seluruh bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang dapat mengambilnya sungguh ia telah meraih bagian yang banyak"{footnote}HR Abu Daud no : 3641-2, At-Tirmidzi no : 2683, Ibnu Majah no : 223, dishahihkan Ibnu Hibban no : 80{/footnote}
Ilmu ini adalah anugerah, mari kita bersama menjaganya dengan baik. Mengikhlaskan hati mensucikan niat agar Allah menambahnya serta melimpahkan berkah di dalamnya, وقل رب زدني علما "dan katakan, Wahai Rabb tambakanlah bagiku ilmu"{footnote}QS Thoha : ayat 114{/footnote}. Jangan sampai kemurniannya terkotori dengan bisikan ambisi materi atau buaian kemewahan duniawi. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kita dengan sebuah haditsnya "Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dicari untuk mengharapkan wajah Allah, namun ternyata ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan satu tujuan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga pada hari kiamat".{footnote}HR Abu Daud no : 3664 dengan sanad yang shahih, Ibnu Majah no : 252, Ibnu Hibban no : 89, dll{/footnote}
Para ulama salaf menjelaskan bahwa di antara kiat menjaga kenikmatan mulia ini adalah dengan :
  1. Selalu bersemangat dalam menuntut ilmu dan tidak merasa bosan; Imam Syafi`i berkata, "Tidaklah berhasil menuntut ilmu (dengan baik) bagi seorang yang mencarinya dengan cepat merasa bosan seakan tidak membutuhkannya, akan tetapi seorang akan berhasil menuntut ilmu jika melakukannya dengan perjuangan dan susah payah, penuh semangat dan hidup prihatin".{footnote}Hilayatul Auliya karya Abu Nu`aim; 9 : 119, Al-Madkhal karya Al-Baihaqi; no : 513, Tadribur Rawi karya As-Suyuthi; 2 : 584{/footnote}
Dalam Diwannya beliau juga membawakan syair

أخي لن تنال العلم إلا بستـتة # سأنبيك عن تفصيلها ببيان # ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة # وصحبة أستاذ وطول زمان

Wahai saudaraku…, engkau takan mendapatkan ilmu melainkan dengan (memperhatikan) enam hal…
Aku akan menyebutkannya dengan penjelasan… kecerdasan, semangat, kesungguh-sungguhan, biaya materi… petunjuk Ustadz, dan waktu yang panjang….{footnote}Diwan Asy-Syafi`i hal : … {/footnote}
2. Mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan; Amr bin Qays berkata, "Jika sampai kepadamu suatu ilmu maka amalkanlah meskipun hanya sekali… "{footnote}Hilayatul Auliya karya Abu Nu`aim 5 : 102{/footnote}, Imam Waki` berkata, "Jika engkau hendak menghafal satu ilmu (hadits) maka amalkanlah!"{footnote}Tadribur Rawi karya As-Suyuthi 2 : 588{/footnote}, Imam Ahmad berkata, "Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya, sehingga suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijamah (bekam) dan memeberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu dinar pula"{footnote}Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad, hal : 232{/footnote}
  • Senantiasa mengingat dan mengulang-ulang ilmu;
Ali bin Abi Thalib berkata, "Ingat-ingatlah (ilmu) hadits, sungguh jika kalian tidak melakukannya maka ilmu akan hilang."{footnote}Al-Muhadditsul Fashil karya Ar-Ramahurmuzi hal : 545{/footnote}, Ibnu Abas berkata "Mengulang-ulang ilmu di sebagian malam lebih aku cintai daripada menghidupkan malam (dengan ibadah){footnote}Sunan Ad-Darimi; 1 : 82 dan 149{/footnote} , Az-Zuhri berkata, "Gangguan ilmu adalah lupa dan sedikitnya muraja`ah (mengulang-ulang)."{footnote}Sunan Ad-Darimi; 1 : 150{/footnote}

Saudaraku…, kita perlu mengingat kembali sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menggambarkan bagaimana Allah akan mencabut ilmu dari kehidupan dunia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan merenggutnya dari para manusia, namun mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang alim maka manusia akan menjadikan para pembesar mereka dari kalangan orang-orang bodoh, yang ditanya (tentang agama) lantas orang-orang bodoh itu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan"{footnote}HR Al-Bukhari : 1 : 174-175, Muslim no : 2673, At-Tirmidzi 2652{/footnote}.
Dalam hadits yang lain beliau bersabda, "Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan semakin banyak merebak, zina menjadi nampak (dimana-mana), khamr diminum, kaum pria menjadi sedikit dan kaum wanita menjadi lebih banyak…."{footnote}Shahih dengan beberapa jalannya, Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Sahih : kitab "nikah" dari hadits Hafsh bin Umar dan kitab "ilmu", demikian pula halnya Muslim dalam shahihnya : 4 : 256, dan selain mereka.{/footnote}.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, "Sungguh keberadaan agama Islam dan keberlangsungan dunia ini adalah dengan keberadaan ilmu agama, dengan hilangnya ilmu akan rusaklah dunia dan agama. Maka kokohnya agama dan dunia hanyalah dengan kekokohan ilmu."{footnote}Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah : 1 : 500{/footnote}
Al-Auza`i berkata : Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan, "Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan, sementara ilmu diangkat dengan cepat. Kekokohan ilmu adalah keteguhan bagi agama dan dunia, hilangnya ilmu adalah kehancuran bagi itu semua."{footnote}Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud 817, dan Ibnu `Abdil Bar dalam Al-Jami` : 1018{/footnote}

Saudaraku…., yakinlah bahwa di antara kunci kebahagiaan dunia dan akherat adalah dengan menuntut ilmu syar`i, itulah yang akan menumbuhkan khasyyah dan sikap takut kepada Allah, merasa diawasi sehingga waspada terhadap semua ancaman Allah. Semua itu tidaklah didapatkan kecuali dengan ilmu syar`i, Allah berfirman, "Sesungguhnya hanyalah para ulama yang memiliki khasyyah kepada Allah"{footnote}QS. Fathir : 28{/footnote}
Ath-Thabari berkata "Sesungguhnya yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu, mereka mengetahui bahwa Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah…"{footnote}Lihat Tafsir Ath-Thabari QS Fathir ; ayat : 28{/footnote}.
Abdullah bin Mas`ud dan Masruq berkata, "Cukuplah ilmu untuk dapat membuat takut kepada Allah, dan cukuplah kebodohan yang menyebabkan seorang lalai tentang Allah". Al-Baghawi menyebutkan bahwa seseorang memanggil dan berkata kepada Sya`bi, “wahai "alim" berfatwalah”, Sya`bi menjawab, "Sesungguhnya seorang "alim" adalah yang memiliki khasyyah kepada Allah"{footnote}Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud hal : 15, dan Ahmad dalam Az-Zuhud hal : 858 dan Lihat Tafsir Al-Baghawi QS Fathir ; ayat : 28{/footnote}.
Syaikh As-Sa`di berkata dalam tafsirnya (yaitu tafsir dari Surat Al-Faaathir ayat 28, ed), "Ayat ini adalah dalil keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan sikap khasyyah (takut) kepada Allah, orang yang takut kepada Allah adalah orang yang akan mendapatkan kemuliaan Allah sebagaimana firmanNya "Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah, itu hanya bagi orang-orang yang memiliki khasyyah kepadaNya"{footnote}Lihat Tafsir As-Sa`di QS Fathir ; ayat : 28{/footnote}.
Dengan ilmu kita dapat menumbuhkan sikap khasyyah kepada Allah dan itulah muraqabah yang akan membimbing langkah-langkah kita menuju ridha Allah. Sufyan berkata, "Barangsiapa yang berharap (kebahagiaan) dunia dan akherat hendaklah ia menuntut ilmu syar`i". An-Nadhr bin Syumail berkata, "Barangsiapa yang ingin dimuliakan di dunia dan akherat hendaklah ia menuntut ilmu syar`i, dan cukuplah menjadi kebahagiaan bagi dirinya jika ia dipercaya dalam perkara agama Allah, serta menjadi perantara antara seorang hamba dengan Allah"{footnote}Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 503-504{/footnote}.
Mu`adz bin Jabal berkata, "Pelajarilah ilmu syar`i karena mempelajarinya di jalan Allah adalah khasyyah, memperdalamnya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih (memuji Allah), membahas (permasalahan-permasalahannya) adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya adalah shadaqah, dengan ilmulah Allah diketahui dan disembah, dengannya Allah diesakan dalam tauhid, dan dengannya pula diketahui yang halal dan yang haram …"{footnote}Hilayatul Auliya karya Abu Nu`aim 1 : 239, Al-Ajmi` oleh Ibnu `Abdil Bar 1 : 65{/footnote}.
Seorang penyair berkata :
Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis… Sebaik-baik teman yang bersahabat adalah ilmu…
Terkadang seseorang mengumpulkan harta kemudian kehilangannya… Tidak seberapa namun meninggalkan kehinaan dan perseteruan… Adapun penuntut ilmu, ia selalu membuat iri (ghibthah) banyak orang…   namun dirinya tidak pernah merasa takut akan kehilangannya… Wahai para penuntut ilmu, betapa berharga hartamu itu… yang tak dapat dibandingkan dengan emas ataupun mutiara….{footnote}Diterjemahkan dari Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 507{/footnote}.
Karenanya, Luqman berwasiat kepada putranya, "Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, dekatilah mereka dengan kedua lututmu, sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan pelita "hikmah" sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang gersang dengan air hujan".{footnote}Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa` 2 : 1002 (Cet. Daarul Kutubil `Imiyyah){/footnote} Hikmah yang beliau maksud adalah yang Allah sebutkan dalam firmanNya (QS Al-Baqarah : 269) yang artinya, "Allah menganugerahkan "hikmah" kepada yang Allah kehendaki, barangsiapa telah diberikan hikmah maka ia telah diberikan banyak kebaikan…". Qutaibah dan Jumhur ulama berkata "hikmah adalah mengetahui yang haq{footnote}Syaikh Ali Hasan berkata "dan hikmah adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, dan tidaklah mungkin hal ini dilakukan melainkan dengan ilmu" (Lihat, Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 227){/footnote} dengan sebenarnya serta mengamalkannya, itulah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih".{footnote}Miftah Daris sa`adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1 : 227{/footnote}
Imam Ahmad berkata, "Manusia lebih membutuhkan ilmu dibandingkan makan dan minum, karena makanan dan minuman dibutuhkan manusia satu atau dua kali dalam satu hari, akan tetapi ilmu senantiasa dibutuhkan seorang manusia setiap saat (selama nafasnya berhembus)"{footnote}Thabaqat Al-Hanabilah; 1 : 146{/footnote}…

Saudaraku…., belum terlambat… dan tidak ada kata "malu"; `Aisyah berkata, "Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar, mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk mempelajari semua perkara agama ini". Mujahid juga berkata, "Tidaklah dapat menuntut ilmu seorang pemalu atau yang sombong, yang ini terhalangi dari menuntut ilmu oleh rasa malunya, sementara yang itu terhalangi oleh kesombongannya"{footnote}Al-Bukhari menyebutkannya secar mu`allaq dalam shahihnya 1 : 229{/footnote}.
Mari bersama-sama kita membangkitkan semangat menuntut ilmu syar`i agar dengannya kita mendapatkan pelita nan bercahaya, menerangi setiap amalan hidup kita, membimbing setiap pola pikir dan langkah kita, memperbaiki setiap niat hati kita, membuat kita senantiasa takut karena merasa diawasi oleh Allah. Jika ilmu itu telah sampai maka jangan kita melupakannya dan mari kita berlomba untuk mengamalkannya, Ali bin Abi Thalib berkata, "Ilmu membisikkan pemiliknya untuk diamalkan, jika ia menjawab panggilan bisikan itu maka ilmu akan tetap ada, namun jika ia tidak menjawab panggilan itu maka ilmu akan pergi".{footnote}Iqtidhaul `ilmil amal karya Al-Khathib: hal 41{/footnote}
Semoga Allah melimpahkan taufiqNya kepada kita untuk ikhlas dalam menuntut ilmu, beramal dan berdakwah di jalanNya. Ya Allah…., jadikanlah kami hamba-hambaMu yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia serta akherat dengan ilmu, amin...

Seputar Perjanjian al-Hudaibiyah (Akhir Tahun 6 H)

Seputar Perjanjian al-Hudaibiyah (Akhir Tahun 6 H)



  • “Kemudian Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Ramadhan dan Syawal. Pada bulan Dzulqa’dah, beliau keluar dari Madinah untuk berumrah dan tidak menginginkan perang.*
  • “Rasulullah mengajak orang-orang Arab dan orang-orang Badui yang ada di sekitar beliau untuk pergi bersama beliau, karena khawatir orang-orang Quraisy memerangi atau melarang beliau mengunjungi Baitullah. Banyak sekali orang-orang Badui yang menolak ajakan beliau. Kendati begitu, beliau tetap berangkat bersama para sahabat dari kaum Muhajirin, para sahabat dari kaum Anshar, dan orang-orang Arab lainnya. Beliau membawa hewan sembelihan (onta)** dan berpakaian ihram untuk umrah agar manusia merasa aman dan mengetahui beliau keluar untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya”.
  • “Rasulullah berjalan dan ketika tiba di ‘Usfan (sebuah tempat lebih kurang dua marhalah sebelum masuk kota Makkah), beliau bertemu Bisyr bin Sufyan al-Ka’bi.
  • “Bisyr bin Sufyan berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang Quraisy mendengar keberangkatanmu, untuk itu, mereka keluar dengan membawa unta-unta betina yang baru melahirkan anaknya yang teteknya penuh dengan susu lalu berhenti di Dzu Thuwa (Nama sebuah tempat dekat Makkah) Mereka bersumpah kepada Allah bahwa engkau tidak boleh masuk ke tempat mereka untuk selama-lamanya. Inilah Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya, mereka mengutusnya ke Kuraul Ghamim’***. Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah orang-orang Quraisy, sungguh mereka telah dikuasai nafsu berperang. Apa salahnya kalau mereka tidak menghalang-halangiku berhubungan dengan orang-orang Arab. Jika orang-orang Arab tersebut mengalahkanku, itulah yang mereka harapkan. Jika Allah memenangkanku atas mereka, maka mereka masuk Islam. Jika mereka tidak masuk Islam, mereka berperang, toh mereka mempunyai kekuatan. Demi Allah, orang-orang Quraisy jangan salah sangka, sesungguhnya aku tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang aku bawa dari Allah hingga Dia memenangkannya atau aku mati karenanya’. Beliau bersabda lagi, ‘Siapa yang bisa berjalan dengan kita di jalan lain yang tidak mereka lalui?”.
  • Sesorang dari Bani Aslam berkata, ‘Aku, wahai Rasulullah’. Orang tersebut berjalan bersama kaum muslimin melewati jalan yang penuh dengan pohon hingga sulit dilalui di antara jalan-jalan menuju gunung. Ketika mereka keluar dari jalan tersebut dalam keadaan lelah dan tiba di tanah datar di ujung lembah, Rasulullah bersabda, ‘Katakanlah, ‘Kami meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya’. Mereka mengucapkan perkataan tersebut. Rasulullah bersabda lagi, ‘Demi Allah, itulah perkatan yang dulu ditawarkan kepada Bani Israel, namun mereka tidak mau mengucapkannya’.****”
  • “Maka Rasulullah memberi instruksi kepada kaum muslimin dengan bersabda, ‘Hendaklah kalian mengambil jalan arah kanan melewati Al-Hamdhu, jalan yang tembus ke Tsaniyyatul Mirar, tempat pemberhentian di al-Hudaibiyah, dari arah bawah Makkah.
  • Rombongan pun berjalan melewati jalan tersebut. Ketika pasukan berkuda Quraisy melihat kepulan debu dari jalan yang berlainan dengan jalan mereka yang mereka lalui, mereka pulang kepada orang-orang Quraisy. Di sisi lain, Rasulullah terus berjalan dan ketika berjalan di Tsaniyyatul Mirar, tiba-tiba unta beliau berhenti dan orang-orang pun berkata, ‘Unta ini mogok jalan’. Rasulullah bersabda, ‘Unta ini tidak mogok jalan dan itu bukan tabiatnya, namun ia ditahan oleh Allah yang menahan gajah dari Makkah (pasukan Abrahah). Jika hari ini orang-orang Quraisy mengajakku menyambung hubungan kekerabatan, aku menyetujuinya’. Beliau bersabda lagi, ‘Berhentilah kalian’. Salah seorang sahabat berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, di lembah ini tidak ada mata air. Jadi, kita tidak usah berhenti di sini’.
  • Rasulullah mengeluarkan panah dari tabung panah dan memberikannya kepada salah seorang dari para sahabat, kemudian ia turun dengan panah tersebut ke salah satu sumur di tempat tersebut dan memasukkan panah ke dalamnya. Air pun keluar hingga tanah di sekitar sumur menjadi basah”.
  • “Ketika Rasulullah tengah beristirahat, beliau didatangi Budail bin Warqa’ Al-Khuzai bersama beberapa orang dari Khuza’ah. Mereka berbicara dan menanyakan alasan kedatangan beliau ke Makkah. Beliau menjelaskan kepada mereka bahwa beliau datang tidak untuk perang, namun untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya. Setelah itu, beliau bersabda kepada mereka seperti yang beliau sabdakan kepada Bisyr bin Sufyan. Usai mendapatkan penjelasan beliau, Budail bin Warqa’ Al-Khuzai dan anak buahnya pulang ke tempat orang-orang Quraisy dan berkata kepada mereka, ‘Hai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian terlalu cepat bertindak terhadap Muhammad. Sesungguhnya Muhammad datang tidak untuk perang, namun untuk mengunjungi Baitullah. Maka curigailah dan tolaklah mereka dengan kata-kata kasar’. Orang-orang Quraisy berkata, ‘Jika ia datang untuk tujuan tersebut dan tidak untuk perang, maka demi Allah ia tidak boleh masuk ke tempat kita dengan kekerasan untuk selama-lamanya dan ia tidak boleh mengungkit-ungkit perang kepada kita’.”
  • “Orang-orang Khuza'ah; baik yang muslim atau yang musyrik adalah kolega dekat Rasulullah yang tidak merahasiakan apa saja yang terjadi di Makkah terhadap beliau. Mereka mengutus Mikraz bin Hafsh bin Al-Akhyaf saudara Bani Amir bin Luai kepada Rasulullah. Ketika beliau melihat kedatangannya, beliau bersabda, ‘Orang ini pengkhianat’. Ketika Makraz bin Hafsh tiba di tempat beliau dan berbicara dengan beliau, maka beliau bersabda kepadanya seperti yang beliau sabdakan kepada Budail bin Warqa’ dan teman-temannya. Setelah itu, Makraz bin Hafsh pulang kepada orang-orang Quraisy dan menceritakan kepada mereka apa yang disabdakan Rasulullah”.
  • “Orang-orang Quraisy mengutus Al-Hulais bin Alqamah atau bin Zabban kepada Rasulullah. Ketika itu, Al-Hulais bin Alqamah adalah pemimpin orang-orang Ahabisy dan warga Bani Al-Harits bin Abdu Manat bin Kinanah. Ketika Rasulullah melihat kedatangannya, beliau bersabda, ‘Orang ini berasal dari kaum yang beribadah, oleh karena itu, tempatkan hewan sembelihan (onta) di depannya agar ia bisa melihatnya’. Ketika al-Hulais bin ‘Alqamah melihat hewan sembelihan (onta) berdatangan kepadanya dari samping lembah dengan memakai kalung sebagai tanda akan disembelih dan bulu-bulunya telah rusak karena terlalu lama berada di tempat ia akan disembelih, ia segera pulang kepada orang-orang Quraisy dan tidak jadi bertemu dengan Rasulullah karena hormat kepada beliau. Ia ceritakan apa yang dilihatnya kepada orang-orang Quraisy, kemudian orang-orang Quraisy berkata kepadanya, ‘Duduklah engkau, karena engkau orang Arab dusun yang bodoh’.”
  • Al-Hulais bin Alqamah marah karena perkataan orang-orang Quraisy. Ia berkata, ‘Hai orang-orang Quraisy, demi Allah, kami bersekutu dan mengikat perjanjian dengan kalian tidak untuk hal ini. Pantaskah orang yang ingin mengagungkan Baitullah itu tidak boleh datang kepadanya?. Demi Dzat yang jiwa Al-Hulais berada di tanganNya, kalian mengizinkan Muhammad mengunjungi Baitullah atau aku membelot dari kalian bersama orang-orang Ahabisy’. Orang-orang Quraisy berkata kepada Al-Hulais bin Alqamah, Tahan dirimu, hai Al-Hulais, hingga kami bisa mengambil apa yang kami ridhai untuk kami’.”
  • “Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi untuk pergi kepada Rasulullah. Urwah bin Mas’ud berkata, ‘Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku tahu kata-kata kasar dan buruk yang kalian sampaikan kepada orang-orang yang kalian utus untuk menemui Muhammad. Kalian tahu bahwa kalian adalah orang tua sedang aku anak –Urwah adalah anak Subai’ah binti Abdu Syams–. Aku dengar apa yang terjadi pada kalian, mengumpulkan orang-orang dari kaumku yang taat kepadaku, kemudian datang kepada kalian untuk membantu kalian dengan diriku sendiri’. Orang-orang Quraisy berkata, ‘Engkau benar. Engkau bukan orang tertuduh di tempat kami’. Setelah itu, Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berangkat ke tempat Rasulullah. Ketika ia tiba di tempat beliau, ia duduk di depan beliau, kemudian berkata, ‘Hai Muhammad, engkau kumpulkan orang banyak kemudian membawa mereka kepada keluargamu untuk membunuh mereka?.
  • Orang-orang Quraisy telah keluar bersama wanita-wanita dan anak-anak mereka dengan memakai kulit-kulit harimau. Mereka bersumpah tidak akan mengizinkanmu masuk ke tempat mereka untuk selama-lamanya. Demi Allah, dengan mereka, sepertinya kami lihat pengikut kalian akan menyingkir darimu besok pagi’. Abu Bakar Ash-Shiddiq yang duduk di belakang Rasulullah berkata, ‘Isaplah klentit (clitoris) Lata. Apakah kami akan menyingkir dari beliau?’. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata, ‘Siapa orang ini, hai Muhammad?’. Beliau menjawab, ‘Dia putra Abu Quhafah’. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata, ‘Demi Allah, jika aku tidak berutang budi padanya, pasti aku balas ucapannya dengan ucapan yang lebih menyakitkan, namun perkataanku ini sudah cukup’. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berusaha memegang Rasulullah sambil berbicara dengan beliau. Al-Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di depan Rasu-lullah dengan memegang pedang memukul tangan Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi yang hendak memegang jenggot Rasulullah, sambil berkata, ‘Tahan tanganmu dari wajah Rasulullah sebelum pedang ini mengenaimu’. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata, ‘Celakalah engkau, betapa kasarnya engkau!’ Rasulullah tersenyum.
  • Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata kepada beliau, ‘Siapa orang ini, hai Muhammad?’ Beliau men-jawab, ‘Dia anak saudaramu, yaitu Al-Mughirah bin Syu’bah’. Urwah bin Mas’ud berkata, ‘Engkau pengkhianat, aku baru saja membersihkan aibmu kemarin.”*****
  • “Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi seperti yang telah beliau jelaskan kepada teman-teman Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi sebelum ini bahwa beliau datang tidak untuk perang. Kemudian Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi beranjak dari tempat Rasulullah dan sebelum itu, ia melihat apa yang diperbuat para sahabat terha-dap beliau; jika beliau berwudhu maka mereka memperebutkan bekas air wudhu beliau, jika beliau meludah maka mereka memperebutkannya, dan jika rambut beliau jatuh maka mereka mengambilnya. Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi pulang kepada orang-orang Quraisy dan berkata kepada mereka, ‘Hai orang-orang Quraisy sungguh aku telah mengunjungi Kisra di kerajaannya, Kaisar di kerajaannya, dan An-Najasyi di kerajaannya. Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja di rakyatnya seperti Muhammad di sahabat-sahabatnya. Sungguh aku lihat kaum yang tidak akan menyerahkannya kepada sesuatu apa pun untuk selama-lamanya, oleh karena itu, pikirkanlah pendapat kalian’.”
  • Rasulullah memanggil Khirasy bin Umaiyyah Al-Khuzai dan mengutusnya untuk menemui orang-orang Quraisy. Beliau menyerahkan unta beliau yang bernama Ats-Tsa’lab kepada Khirasy bin Umaiyyah dan menyuruhnya menyampaikan pesan beliau kepada tokoh-tokoh Quraisy. Ketika Khirasy bin Umaiyyah tiba di tempat orang-orang Quraisy, mereka menyembelih unta beliau yang dikendarai Khirasy bin Umaiyyah dan juga bermaksud membunuh Khirasy bin Umaiyyah namun dicegah orang-orang ahabisy. Mereka melepas Khirasy bin Umaiyyah hingga ia tiba kembali di tempat Rasulullah SAW”.
  • “Kemudian Rasululla SAW memanggil Umar bin Khaththab untuk diutus ke Makkah guna menyampaikan pesan beliau kepada tokoh-tokoh Quraisy. Umar bin Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku takut kepada orang-orang Quraisy atas diriku, sementara di Makkah, tidak ada seorang pun dari Bani Adi bin Ka’ab yang bisa melindungiku. Selain itu, orang-orang Quraisy mengetahui permusuhanku dan kekerasanku terha-dap mereka. Aku tunjukkan kepadamu orang yang lebih mulia di Makkah daripada aku yaitu Utsman bin Affan’. Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Affan dan menyuruhnya menemui Abu Sufyan bin Harb dan tokoh-tokoh Quraisy lainnya serta menjelaskan kepada mereka bahwa baliau datang tidak untuk perang, namun untuk mengunjungi Baitullah dan mengagungkannya’.
  • “Utsman bin Affan berangkat ke Makkah dan bertemu Aban bin Sa’id bin Al-Ash ketika memasuki Makkah atau hendak memasukinya. Aban bin Sa’id Al-Ash membawa Utsman bin Affan di depannya dan melindunginya hingga ia menyampaikan surat Rasulullah. Setelah itu, Utsman bin Affan menemui Abu Sufyan bin Harb dan tokoh-tokoh Quraisy, dan menyampaikan surat Rasulullah SAW kepada mereka. Mereka berkata kepada Utsman bin Affan setelah ia selesai menyampaikan pesan Rasulullah kepada mereka, ‘Jika engkau hendak melakukan thawaf di Baitullah, silakan’. Utsman bin Affan menjawab, ‘Aku tidak akan thawaf hingga Rasulullah yang memulai thawaf”.
  • “Utsman bin Affan ditahan orang-orang Quraisy di tempat mereka, namun informasi yang sampai kepada Rasulullah SAW dan kaum muslimin ialah Utsman bin Affan dibunuh”.

  • CATATAN:
  • * Rasulullah SAW menunjuk Namilah bin Abdillah Al-Laitsi sebagai amir sementara di Madinah
** Hewan sembelihan yang dibawa ketika itu berjumlah tujuh puluh ekor unta. Rombongan yang ikut saat itu berjumlah tujuh ratus orang. Setiap satu ekor unta merupakan kongsi dari sepuluh orang
*** Nama sebuah tempat dekat Makkah
**** Isyarat kepada firman Allah: "Quulu hiththatun" yang artinya, "Ya Allah hapuslah dosa kami".
***** Ibnu Hisyam berkata: "Maksud Urwah adalah bahwasanya Al-Mughirah bin Syu'bah sebelum masuk Islam telah membunuh tiga belas orang Bani Malik dari Tsaqif, maka marahlah orang-orang Bani Tsaqif, khususnya Bani Malik, keluarga korban. Dan Al-Ahlaaf masih satu rumpun keluarga dengan Al-Mughirah, lalu Urwah mengelurkan diyat untuk tiga belas orang korban yang terbunuh itu, maka selesailah permasalahannya.
Kisah Nabi Ya’qub AS Dan Putranya,Yusuf AS Serta Pelajaran Yang Dapat Dipetik (1-2)
Kisah ini termasuk salah satu kisah dari kisah-kisah yang sangat mengagumkan, yang dijelaskan oleh Allah secara keseluruhan (lengkap), dan Allah menjelaskannya tersendiri dalam suatu surat yang panjang dengan penjelasan yang rinci dan gamblang, yang dapat dibaca dari tafsirnya. Di dalamnya Allah SWT menjelaskan kisah Nabi Yusuf AS dari awal hingga akhir berikut sejumlan perubahan dan peristiwa yang terjadi yang menyertainya. Berkenaan dengan kisah tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7).
Dalam pembahasan ini, kami akan mengemukakan sejumlah faidah yang besar yang dapat diambil dari penjelasan kisah tersebut seraya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

FAIDAH-FAIDAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI KISAH TERSEBUT

Adapun sejumlah faidah yang dapat diambil di antaranya bahwa kisah tersebut termasuk kisah yang sangat baik serta jelas. Karena di dalamnya terdapat sejumlah perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan berikutnya, dari suatu cobaan kepada cobaan berikutnya, dari kehinaan kepada kemuliaan, dari kedamaian kepada ketakutan dan sebaliknya, dari raja kepada budak dan sebaliknya, dari perpecahan dan kekacauan kepada persatuan dan keharmonisan serta sebaliknya, dari kebahagiaan kepada kesedihan dan sebaliknya, dari kemakmuran kepada kelaparan serta sebaliknya, dari kesempitan kepada kelapangan serta sebaliknya dan pencapaian hasil-hasil yang terpuji (baik). Maha Pemberi Keberkahan Dzat yang telah menjelaskannya dan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi orang-orang yang berakal.
Faidah lainnya adalah berkenaan dengan ketepatan dalam menafsirkan mimpi, dimana ilmu tentang penafsiran mimpi itu adalah suatu ilmu yang dikaruniakan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada umumnya yang menjadi patokan di dalam menafsirkan mimpi ialah adanya kecocokan dengan kenyataan, perumpamaan-perumpamaan dan persamaan dalam sejumlah sifat.
Kecocokan mimpi Nabi Yusuf AS dengan kenyataan, bahwa ia memimpikan matahari, bulan serta sebelas buah bintang sujud kepadanya, dimana benda-benda tersebut adalah hiasan langit yang bermanfaat. Begitu juga dengan para nabi, para ulama dan orang-orang pilihan, dimana mereka adalah hiasan bumi.
Dengan sebab mereka, maka diperolehlah petunjuk dalam kegelapan, seperti halnya diperoleh petunjuk dengan sebab benda-benda langit yang bersinar serta bercahaya. Karena bapaknya dan ibunya Nabi Yusuf AS adalah pokok dan saudara-saudaranya adalah cabang dari keduanya, tentunya sesuatu yang pokok memiliki sinar dan ukuran yang jauh lebih besar daripada sesuatu yang menjadi cabang.
Demikian juga halnya dengan mimpi Nabi Yusuf AS, dimana matahari melambangkan ibunya atau bapaknya, bulan melambangkan bagian lain dari keduanya serta sebelas buah bintang melambangkan saudara-saudaranya. Kecocokan mimpi tersebut dengan kenyataan bahwa yang bersujud niscaya menaruh hormati kepada yang disujudi dan yang disujudi niscaya memiliki kedudukan yang agung dan terhormat. Mimpi tersebut menunjukkan, bahwa Nabi Yusuf AS niscaya akan memiliki kedudukan yang agung dan terhormat di hadapan kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya. Tetapi hal tersebut tidak akan sempurna, kecuali ditempuh sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepadanya, misalnya: sejumlah ilmu, amal-amal shalih dan penyeleksian dari Allah. Hal itu ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi).” (Yusuf: 6).
Faidah lainnya ialah kecocokan dalam menafsirkan mimpi dua orang pemuda.
Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang pemuda yang memeras anggur, bahwa orang yang melakukan perbuatan demikian biasanya adalah seorang pelayan dan perasan anggur yang dimaksud diperuntukkan bagi orang lain, dan seorang pelayan biasanya menuruti perintah orang lain. Adapun tafsiran dari memberi minum adalah memberi minum orang yang dilayaninya. Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi itu berdasarkan kenyataan yang biasa berlaku.
Sedangkan berkenaan dengan mimpi seorang pemuda lainnya, yang bermimpi membawa roti di atas kepalanya, lalu sebagiannya dimakan seekor burung, bahwa pelakunya niscaya akan dibunuh dan disalib selama beberapa hari hingga datang kepadanya seekor burung dan memakan otaknya.
Kemudian Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang raja yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus serta tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering. Adapun kecocokan mimpi raja itu dengan kenyataan, bahwa seorang raja terkait dengan urusan-urusan dan kemaslahatan rakyatnya, dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya, maka hal itu akan mendatangkan kemaslahatan baginya dan dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kerusakkan bagi rakyatnya, maka hal itu akan mendatangkan kerusakkan baginya. Itulah kecocokan tafsiran mimpi tersebut dengan kenyataan. Begitu juga dengan tafsiran tentang tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, dimana hal itu berkaitan dengan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesejahteraan dan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesengsaraan. Sapi merupakan alat untuk membajak tanah yang dapat mendatangkan hasil dengan menanaminya. Mimpi tersebut terkait dengan sebab akibat.
Dengan demikian tafsiran dari mimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus, dan tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, bahwa tujuh butir gandum itu awalnya tumbuh subur, kemudian mengering dan hanya memakan hasil yang didapatkan darinya, dimana tidak ada butir gandum yang tersisa kecuali yang disimpan. Jika tidak ada gandum yang disimpan, niscaya semuanya akan habis dimakan.
Jika dikatakan, “Dari manakah pernyataan Nabi Yusuf AS berikut dikutip: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49).
Sebagian ahli tafsir berpendapat, bahwa pernyataan itu merupakan tambahan dari Nabi Yusuf AS terhadap wahyu yang diwahyukan kepadanya dalam menafsirkan mimpi tersebut?
Jawabannya, bahwa masalahnya bukanlah demikian, tetapi Nabi Yusuf AS mengutipnya dari mimpi raja tersebut, karena musim kemarau itu hanya berlangsung selama tujuh tahun saja dan setelahnya akan datang tahun yang agung, yang subur dan banyak membawa keberkahan (musim hujan) serta menghilangkan musim kemarau yang dahsyat yang tidak mungkin hilang dengan musim subur (hujan) yang biasa, tetapi harus dengan musim hujan yang luar biasa. Penafsiran tersebut sangat gamblang, yang dipahami dari jumlah bilangan yang terdapat di dalam pernyataan raja yang berkenaan dengan mimpinya.
Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung sejumlah dalil dan bukti nyata atas kenabian Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan kisah itu kepadanya secara rinci dan jelas yang sesuai dengan kenyataan yang dimaksud secara keseluruhan, padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca kitab-kita suci umat-umat terdahulu dan tidak juga belajar kepada seseorang; sebagaimana yang diberitahukannya kepada kaumnya, dan beliau sendiri adalah orang tidak dapat menulis dan membaca. Karena itu, maka Allah SWT berfirman, “Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya.” (Yusuf: 102)
Faidah lainnya, bahwa wajib bagi seseorang menghindari sebab-sebab yang mendatangkan keburukan dan menyembunyikan sesuatu yang dikhawatirkan dapat mendatangkan kemadharatan. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS kepada Nabi Yusuf AS, “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)
Faidah lainnya adalah keharusan mengingatkan seseorang tentang sesuatu yang dibenci; yang disampaikan dengan jujur dan sebagai nasehat baginya atau bagi yang lainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “… maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)
Faidah lainnya, bahwa ni’mat Allah yang dikaruniakan kepada seseorang merupakan ni’mat pula terhadap orang yang memiliki hubungan dengannya serta berkaitan dengan anggota keluarganya, kerabatnya dan sahabat-sahabatnya. Karena itu, sudah semestinya ia memelihara hubungan dengan mereka serta meliputi mereka dengan ni’mat itu. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “… dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub.” (Yusuf: 6)
Yakni sebab ni’mat yang dikaruniakan kepadamu. Karena itu, ketika ni’mat yang diperoleh Nabi Yusuf AS mencapai tingkat kesempurnaan, maka keluarga Nabi Ya’qub AS pun memperoleh kemuliaan, kedudukan yang terhormat, kebahagiaan, terbebas dari penderitaan dan memperoleh hal-hal yang disukai sebagaimana dijelaskan oleh Allah pada akhir kisah.
Faidah lainnya, bahwa pencapaian ni’mat-ni’mat besar, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan harus didahului dengan sebab-sebab dan langkah-langkah yang akan mengantarkan kepada pencapaian ni’mat tersebut. Karena Allah adalah Maha Bijaksana dan Ia memiliki ketentuan yang tidak akan berubah. Allah telah menetapkan bahwa orang yang mencari kedudukan yang tinggi, niscaya ia tidak akan dapat mencapainya, kecuali dengan sebab-sebab yang bermanfaat, khususnya ilmu-ilmu yang bermanfaat yang disertai dengan akhlak yang terpuji dan amal shalih.
Karena itu, Nabi Ya’qub AS mengetahui bahwa keberhasilan Nabi Yusuf AS dalam mencapai kedudukan yang terhormat serta derajat yang tinggi yang menyebabkan bapaknya, ibunya serta saudara-saudaranya menaruh rasa hormat kepadanya, niscaya tidak terlepas dari pertolongan Allah yang memberi kemudahan kepada Nabi Yusuf AS dalam melakukan langkah-langkah yang mengantarkannya kepada pencapaian kedudukan tersebut. Karena itulah, maka Allah SWT berfirman, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu.” (Yusuf: 6)
Faidah lainnya, bahwa keadilan merupakan sesuatu yang dituntut dalam seluruh urusan; baik yang kecil maupun yang besar seperti: dalam perlakuan penguasa terhadap rakyatnya, perlakuan kedua orang tua terhadap anak-anaknya, penunaian hak-hak suami istri dalam hal kasih sayang, pengutamaan dan lain-lain. Penegakan keadilan dalam urusan tersebut niscaya akan mendorong tegaknya urusan yang kecil dan yang besar, sehingga seorang hamba mendapatkan apa yang didambakannya. Sedang jika keadilan tidak ditegakkan, niscaya keadaan akan mengalami kehancuran dan seorang hamba akan mendapatkan apa yang dibencinya tanpa disadarinya. Karena itu, maka ketika Nabi Ya’qub AS mengutamakan kasih sayang kepada Nabi Yusuf AS serta mengarahkan mukanya (perhatiannya) kepadanya, maka saudara-saudaranya menunjukkan sikap yang menyebabkan bapak dan ibu mereka harus menerima sesuatu yang tidak disukai.
Faidah lainnya, bahwa merupakan keharusan untuk mengingatkan akibat buruk yang ditimbulkan dari perbuatan dosa. Karena sering kali perbuatan suatu dosa diikuti sejumlah perbuatan dosa-dosa lainnya dan keburukkan yang beruntun berkaitan dengan perbuatan dosa yang pertama. Perhatikanlah kesalahan yang dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf AS ketika mereka bermaksud memisahkan dia dengan bapaknya yang tergolong dosa besar, dimana mereka melakukan tipu daya setelah melakukan sejumlah tipu daya lainnya dan mereka melakukan kebohongan berulang kali serta mendatangi bapak mereka sambil membawa sebuah baju yang telah dilumuri darah.
Sifat mereka terlihat ketika mereka datang kepada bapak mereka di sore hari sambil menangis dan dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang masalah tersebut saling berantai serta bercabang-cabang, bahkan terkadang ia dikaitkan dengan keinginan mereka berkumpul kembali dengan Nabi Yusuf AS. Padahal ketika mereka membahas masalah itu, maka pembahasan itu penuh rekayasa dan kebohongan seiring dengan berlanjutnya pengaruh musibah tersebut terhadap Nabi Ya’qub AS, bahkan terhadap Nabi Yusuf AS.
Karena itulah, sudah semestinya seseorang berhati-hati serta merasa takut akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa, khususnya perbuatan dosa yang menyebabkan perbuatan-perbuatan dosa yang berikutnya. Sebaliknya dengan sebagian dari perbuatan taat, meski hanya melakukan suatu perbuatan taat, tetapi manfaat serta keberkahannya berantai atau berkelanjutan hingga diikuti oleh perbuatan-perbuatan taat yang lainnya baik yang dilakukan oleh pelakunya maupun orang lain. Itulah pengaruh keberkahan yang sangat besar yang dikaruniakan Allah kepada seseorang berkenaan dengan ilmu dan amalnya.
Faidah lainnya, bahwa pelajaran berharga bagi seorang hamba berkenaan dengan pencapaian kesempurnaan di akhir itu tidak ada hubungan dengan kekurangan pada permulaan. Karena putera-putera Nabi Ya’qub AS pun sejak awal telah melakukan sejumlah perbuatan dosa yang bermacam-macam, tetapi urusan mereka berakhir dengan taubah yang sesungguhnya, pengakuan kesalahan dengan sepenuh hati, mendapatkan pengampunan dari Nabi Yusuf AS serta bapak mereka atas dosa yang dilakukan mereka serta mendo’akan mereka supaya mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. Jika seorang hamba memaafkan sesuatu hak, niscaya Allah akan lebih memaafkan, dan Allah adalah sebaik-baiknya pemberi rahmat dan ampunan. Karena itu, perkataan yang tepat bahwa Allah telah menjadikan mereka sebagai nabi karena telah diampuninya dosa mereka di masa lalu sehingga keadaan mereka bersih seperti semula, serta merujuk firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya.” (Ali ‘Imran: 84), yakni putra-putra Nabi Ya’qub AS yang jumlahnya sebelas orang dan keturunan mereka.”
Di antara yang menguatkan keterangan di atas, bahwa di dalam mimpi Nabi Yusuf AS, mereka dilambangkan dengan sebelas bintang yang memiliki cahaya yang dapat dijadikan petunjuk, dan hal itu termasuk salah satu sifat dari sifat-sifat para nabi. Seandainya mereka tidak menjadi nabi, nicaya mereka menjadi ulama yang kharismatik.
Faidah lainnya, bahwa apa yang dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS berupa ilmu, kesabaran, akhlak yang sempurna, menyeru supaya beribadah kepada Allah Ta’ala dan mentaati perintah agama-Nya, mengampuni saudara-saudaranya yang bersalah dengan pengampunan yang membuat mereka merasa dekat dengannya dan menyempurnakan hal itu dengan mengabari mereka bahwa ia tidak akan mencerca mereka setelah adanya pengampunan tersebut, kebaktiannya yang besar kepada bapak dan ibunya, kebaikkannya kepada saudara-saudaranya dan juga kebaikannya kepada mahluk secara umum, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam biografinya dan kisahnya.
Faidah lainnya, bahwa sebagian keburukan lebih rendah dari sebagian yang lainnya, dan melakukan keburukan yang lebih ringan akibatnya lebih utama daripada melakukan keburukan yang lebih berat kemadharatannya, karena itu ketika saudara-saudara Nabi Yusuf AS berkata, “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal).” (Yusuf: 9), maka salah seorang dari mereka berkata, “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.” (Yusuf: 10). Perkataannya itu lebih baik daripada perkataan mereka dan lebih ringan akibatnya daripada dosa besar (pembunuhan) yang akan dilakukan saudara-saudaranya, dan itu termasuk dalam sejumlah sebab yang telah ditetapkan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS dalam mengantarkannya kepada tujuan yang dikehendaki.
Faidah lainnya, bahwa jika sesuatu berpindah tangan serta menjadi bagian dari sejumlah harta dan para pelakunya tidak mengetahui bahwa hal itu tidak sesuai dengan hukum syara’ (agama), maka tidak berdosa bagi orang yang bahagia dengan menjual, membeli, mempekerjakan, mengambil manfaat, atau mempergunakannya, karena Nabi Yusuf AS pun dijual oleh saudara-saudaranya, padahal penjualan itu diharamkan atas mereka. Ia dibeli oleh sekelompok orang-orang musafir, dan mereka menduga, bahwa ia adalah budak milik saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang menjualnya, kemudian mereka membawanya pergi ke Mesir dan menjualnya di Mesir, sehingga ia tinggal di rumah tuannya dan Allah menyebutnya dengan sayyid (tuan) sebagai budak dan di hadapan mereka ia adalah seorang budak yang mulia. Allah menyebut para pembeli yang pertama dengan sayyarah (sekelompok orang-orang musafir) dan penjualannya di Mesir (saudara-saudaranya) dengan mu’amalah (transaksi), sebagaimana kami sebutkan.
Faidah lainnya berkenaan dengan peringatan akan bahayanya khalwat (menyendiri) dengan wanita lain (bukan muhrim), khususnya dengan wanita yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, danperingatan akan bahaya cinta yang dikhawatirkan mendatangkan kemadharatan. Karena isteri Al-Aziz (sebutan bagi raja di Mesir) menghadapi bahaya itu karena menyendiri dengan Nabi Yusuf AS serta cintanya yang mendalam kepadanya yang menyebabkannya lupa diri sehingga ia menggodanya, lalu ia berdusta kepada Al-Aziz dan memintanya agar memasukannya ke dalam penjara dalam waktu yang lama.
Faidah lainnya, bahwa ada keinginan Nabi Yusuf melakukan perbuatan keji itu kemudian Allah cegah dengan cahaya iman yang dimasukan ke dalam hatinya sehingga mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan salah satu dorongan dari dorongan-dorongan nafsu yang mendorong kepada kejelekan yang merupakan tabiat manusia. Jika keinginan berbuat maksiat datang, sedangkan tidak ada cahaya iman dan perasaan takut kepada Allah yang dapat mencegahnya, niscaya perbuatan maksiat itu akan terlaksana. Jika seorang mukmin memiliki iman yang sempurna dan dorongan tabiat itu datang, niscaya imannya yang murni dan kuat dapat mencegahnya dari dorongan tabiat itu, meski dorongan itu kuat. Nabi Yusuf AS termasuk orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam masalah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “… andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.” (Yusuf: 24), sebagai petunjuk dari Allah: “Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Jadi hal tersebut terjadi, karena pencegahan Allah Ta’ala kepadanya, kekuatan imannya dan keikhlasannya, dimana Allah menyelamatkannya dari perbuatan dosa, sehingga ia termasuk orang yang takut kepada Rabbnya dan memelihara dirinya dari keinginan hawa nafsunya. Ia akan menjadi pimpinan tertinggi dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya. Nabi SAW menyebutkan ketujuh golongan manusia tersebut dalam sabdanya di antaranya ialah: “seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik, lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku merasa takut kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari;660, 1423 dan 6806 dan Muslim;1031: 91 dari hadits Abu Hurairah RA)
Jika tidak ada yang mencegahnya, niscaya istri Al-Aziz akan terus-menerus menggodanya dan keinginan Nabi Yusuf AS untuk menuruti keinginan hawa nafsunya akan terlaksana. Tetapi keinginan itu tidak terlaksana karena melihat tanda kekuasaan Rabbnya.
Faidah lainnya, bahwa orang yang hatinya diliputi oleh keimanan, disinari sinar ma’rifat kepada Rabbnya, diterangi cahaya keimanan yang memancar di dalamnya dan keikhlasan kepada Allah dalam seluruh perilakunya, niscaya Allah akan memeliharanya dengan cahaya keimanan dan keikhlasannya dari berbagai kejahatan, kekejian serta sebab-sebab yang dapat menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat sebagai balasan atas keimanan serta keikhlasannya. Allah memberikan alasan dipalingkannya Nabi Yusuf AS dari keinginan hawa nafsunya, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) Karena orang yang ingin diselamatkan serta dijauhkan Allah dari perbuatan buruk, hendaklah ia ikhlas kepada-Nya.
Faidah lainnya, bahwa diwajibkan atas seseorang ketika menghadapi cobaan di suatu tempat yang di dalamnya terdapat fitnah dan sebab-sebab yang mendorong kepada kemaksiatan supaya melarikan diri ke suatu tempat yang memungkinkannya dapat terhindar dari keburukan itu, sebagaimana Nabi Yusuf AS melarikan diri ke pintu, sehingga istri Al-Aziz menarik bajunya ketika beliau membelakanginya.
Faidah lainnya, bahwa indikasi-indikasi dapat dipakai sebagai sebuah petunjuk dalam memutuskan suatu kasus ketika terjadi kesamaran dalam tuduhan (dakwaan), sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf AS, dimana seorang saksi memberikan kesaksian atau menetapkan hukum terhadap Nabi Yusuf AS dan istri Al-Aziz berdasarkan sebuah indikasi yang ada, seraya berkata, “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.” (Yusuf: 26) Sehingga ketetapan hukumnya sesuai dengan kebenaran.
Dalam kasus Nabi Yusuf AS dengan saudaranya (Bunyamin), bahwa di antara indikasi yang dijadikan sebagai petunjuk di dalam menetapkan hukum ialah keberadaan piala (gelas minum) di dalam karung saudaranya, sehingga hukum pun ditetapkan berdasarkan indikasi tersebut.
teman
 HATI2 DARI TEMAN YANG BURUK

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
مَثَلُ الْـجَلِيْسِ الصَّالـِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ. فَحَامِلُ الْـمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ،
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً
“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh negatif ataupun positif sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi. Bila duduk dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits. Paling minimnya engkau dapati darinya bau yang harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi beterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.

Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً. يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلاً.
لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

“Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku.’ Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)

‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata:

عَنِ الْـمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْـمُقَارَنِ يَقْتَدِي
إِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ وَلاَ تُصَاحِبِ الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي

Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya
Karena setiap teman meniru temannya
Bila engkau berada pada suatu kaum maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka
Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina
Karenanya lihat-lihat dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.

Dampak Teman yang Jelek
Ingatlah, berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya akan memberikan banyak dampak yang jelek. Di antara yang dapat kita sebutkan di sini:
1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar, bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ. قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّي كَانَ لِي قَرِينٌ. يَقُولُ أَئِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدِّقِينَ. أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا
وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَدِينُونَ. قَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ. فَاطَّلَعَ فَرَآهُ فِي سَوَاءِ الْجَحِيمِ.
قَالَ تَاللهِ إِنْ كِدْتَ لَتُرْدِينِ. وَلَوْلاَ نِعْمَةُ رَبِّي لَكُنْتُ مِنَ الْمُحْضَرِينَ
Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan hari berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan.” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?" Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat: 50-57)

Dengarkanlah kisah wafatnya Abu Thalib di atas kekafiran karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, "Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya agar mau melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang munafikin:
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
“Mereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama.” (An-Nisa`: 89)

3. Tabiat manusia, ia akan terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya. Karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat1.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927)

4. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.

5. Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudaratkanmu.

6. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurangi-ngurangi dalam ketaatan.

7. Karena berteman dengan orang yang jelek, engkau akan terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.

8. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya. Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ تَعَالَى فِيْهِ، إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
“Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai2 dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka." (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 77)
Demikian… Semoga ini menjadi peringatan!

(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 95-99)
Artikel: www.asysyariah.com
assalaamualaikum
SIFAT SALAM RASULULLAH SAW


Oleh : Abdul Malik al-Qosim


Segala puji bagi Allah semata dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tiada Nabi setelahnya.

Sesungguhnya salam itu merupakan sunnah terdahulu sejak zaman Nabi Adam ‘alaihi salam hingga hari kiamat, dan salam merupakan ucapannya para penghuni surga, Dan ucapan mereka di dalamnya adalah salam. Salam merupakan sunnahnya para Nabi, tabiatnya orang-orang yang bertakwa dan semboyannya orang-orang yang suci. Namun, dewasa ini, sunnguh telah terjadi kekejian yang nyata dan perpecahan yang terang di tengah-tengah kaum muslimin! jikalau engkau melihat mereka, ada saudaranya semuslim yang melintasinya, mereka tidak mengucapkan salam padanya. Sebagian lagi hanya mengucapkan salam hanya pada orang yang dikenalnya saja, bahkan mereka merasa aneh ketika ada orang yang tak dikenalnya menyalaminya, mereka mengingkarinya dengan sembari menyatakan “Apakah anda mengenal saya?”.

Padahal yang demikian ini merupakan penyelisihan terhadap  perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga menyebabkan semakin menjauhnya hati-hati mereka, semakin merebaknya perangai-perangai kasar dan semakin bertambahnya perpecahan. Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah kalian akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian mengamalkannya niscaya kalian akan saling mencintai, yaitu tebarkan salam di antara kalian.” (HR Muslim).

Dalam hadits Muttafaq ‘alaihi, ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang baik?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal maupun yang tak kau kenal.” (Muttafaq ‘alaihi).

Maka yang demikian ini merupakan suatu anjuran untuk menyebarkan salam di tengah-tengah kaum muslimin, dan bahwasanya salam itu tidaklah terbatas pada orang yang engkau kenal dan sahabat-sahabatmu saja, namun untuk keseluruhan kaum muslimin.

Adalah Abdullah Ibnu 'Umar Radhiallahu ‘anhu pergi ke pasar pada pagi hari dan berkata : “Sesungguhnya kami pergi bertolak pada pagi hari adalah untuk menyebarkan salam, maka kami mengucapkan salam kepada siapa saja yang kami jumpai.”

Salam itu menunjukkan ketawadhu’an seorang muslim, ia juga menunjukkan kecintaan kepada saudaranya yang lain. Salam menggambarkan akan kebersihan hatinya dari dengki, dendam, kebencian, kesombongan dan rasa memandang rendah orang lain. Salam merupakan hak kaum muslimin antara satu dengan lainnya, ia merupakan sebab dicapainya rasa saling mengenal, bertautnya hati dan bertambahnya rasa kasih sayang serta kecintaan. Ia juga merupakan sebab diperolehnya kebaikan dan sebab seseorang masuk surga. Menyebarkan salam adalah salah satu bentuk menghidupkan sunnah Mustofa Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Lima perkara yang wajib bagi seorang muslim atas saudaranya, menjawab salam, mendo’akan orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah.” (HR Muslim).

Wajib bagi siapa yang disalami menjawab dengan jawaban yang serupa sebagai bentuk ittiba’ terhadap perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abi Sa'id Al-Khudriy Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jauhilah oleh duduk-duduk di pinggir jalan!” mereka berkata, “Ya Rasulallah, kami tidak bisa meninggalkan majlis kami ini dan juga bercakap-cakap di dalamnya.” Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau enggan meninggalkannya, maka berilah haknya jalan.” Mereka berkata, “Apakah haknya jalan itu wahai Rasulallah?” menjawab Rasulullah, “Mendudukkan pandangan, menyingkirkan gangguan, menjawab salam serta amar ma’rufr nahyi munkar.” (Muttafaq ‘alaihi).

Imam Nawawi Rahimahullah berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya memulai salam itu adalah sunnah, dan membalasnya adalah wajib. Jika sang pemberi salam itu jumlahnya banyak, maka yang demikian ini merupakan sunnah kifayah atas mereka, maksudnya jika sebagian telah mengucapkan salam berarti mereka telah melaksanakan sunnah salam atas hak keseruhan mereka. Jika yang disalami seorang diri, maka wajib atasnya menjawabnya. Jika yang disalami banyak, maka menjawabnya adalah fardhu kifayah atas hak mereka, maksudnya jika salah seorang dari mereka telah menjawabnya maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Namun, yang lebih utama adalah memulai memberi salam secara bersama-sama dan menjawabnya dengan bersamaan pula.”

SIFAT SALAM

Berkata Imam Nawawi, “Ucapan salam minimal dengan perkataan ‘assalamu’alaikum’, jika yang disalami seorang diri, maka minimal ia mengucapkan ‘assalamu’alaika’, namun adalah lebih utama jika mengucapkannya dengan ‘assalamu’alaikum’, karena kalimat ini mencakup do’a bagi dirinya dan penyertanya (malaikat, pent.). Dan alangkah sempurna lagi ia menambahkan ‘warohmatullahi’ dan ‘wabarokatuh’,  walau sebenarnya kalimat ‘assalamu’alaikum’ telah cukup.”

MENJAWAB SALAM

Imam Nawawi berkata, “Adapun cara membalas salam, lebih utama dan lebih sempurna jika mengucapkan ‘wa’alaikum as-Salam wa rohmatullahi wa barokatuh’, dengan menambahkan huruf ‘wawu’ (yang mendahului kata ‘alaikum) ataupun tidak menggunakannya (membuangnya), hal ini diperbolehkan namun meninggalkan keutamaan. Adapun meringkasnya menjadi ‘wa’alaikumus salam’ atau ‘alaikumus salam’ saja sudah mencukupi. Sedangkan meringkasnya menjadi ‘alaikum’ saja, menurut kesepakatan ulama’ tidaklah mencukupi, demikian pula dengan ‘wa’alaikum’ saja yang diawali dengan huruf ‘wawu’.

TINGKATAN SALAM

Salam memiliki 3 tingkatan, tingkatan yang paling tinggi, paling sempurna dan paling utama adalah ‘Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh’,  kemudian yang lebih rendah darinya ucapan ‘assalamu’alaikum warohmatullah’ dan terakhir yang paling rendah adalah ‘assalamu’alaikum’. Seorang yang mengucapkan salam (Musallim), bisa jadi mendapatkan ganjaran yang sempurna dan bisa jadi mendapatkan ganjaran di bawahnya, sesuai dengan salam yang ia ucapkan.”  Hal ini sesuai dengan kisah tentang seorang laki-laki yang masuk ke dalam masjid dan saat itu Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya sedang duduk-duduk, berkata lelaki tadi, “Assalamu’alaikum”, maka Nabi menjawab, “wa’alaikumus salam, sepuluh atasmu”, kemudian masuk lelaki lain dan berkata, “Assalamu’alaikum warohmatullah”, Rasulullah menjawab, “Wa’alaikumus Salam warohmatullah, dua puluh atasmu”. Tak lama kemudian datang lagi seorang lelaki sambil mengucapkan “Assalamu’alaikum warohmaatullahi wabarokatuh”, maka jawab Rasulullah, “Wa’alaikumus Salam warohmatullahi wabarokatuh, tiga puluh atasmu”. (HR Abu Dawud dan Turmudzi), yang dimaksud adalah sepuluh, dua puluh dan tiga puluh kebaikan.

ADAB-ADAB SALAM
  1. Disunnahkan tatkala bertemu dua macam orang di jalan, yaitu orang yang berkendaraan supaya salam kepada yang berjalan kaki, yang sedikit kepada yang banyak dan yang kecil kepada yang besar. Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah salam bagi yang berkendaraan kepada pejalan kaki, yang berjalan kaki kepada yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak.” (HR. Muslim).
  2. Seyogyanya orang yang hendak memberikan salam kepada kaum muslimin dengan mengucapkan salam dan bukan dengan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘selamat datang’ ataupun ‘halo’, namun hendaknya ia memulainya dengan salam kemudian baru ia boleh menyambutnya dengan sapaan yang diperbolehkan di dalam Islam.
  3. Disukai bagi seorang muslim yang akan masuk ke rumahnya, mengucapkan salam terlebih dahulu, karena sesungguhnya berkah itu turun beserta salam, bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika engkau hendak masuk ke rumahmu, hendaklah engkau salam, niscaya berkah akan turun kepadamu dan keluargamu.” (HR Turmudzi). “Dan jika tak ada seorangpun di dalamnya, maka ucapkan, Assalamu’alainaa ‘ibaadillahish shaalihin.” (HR Muslim).
  4. Seyogyanya mengucapkan salam itu dengan suara yang dapat didengar namun tidak mengganggu orang yang mendengar dan membangunkan orang yang tidur. Dari Miqdad Radhiallahu ‘anhu berkata : “Kami mengangkat untuk Nabi bagiannya dari susu, dan beliau tiba saat malam, mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang tidur dan dapat didengar oleh orang yang terjaga.” (HR Muslim).
  5. Dianjurkan untuk memberikan salam dan mengulanginya lagi jika terpisah dari saudaranya, walaupun hanya dipisahkan oleh jeda atau tembok. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “Jika seorang di antara kalian bertemu dengan saudaranya, hendaknya ia memberinya salam, dan jika terpisah antara keduanya oleh pohon, tembok ataupun batu besar lalu bertemu kembali, hendaknya kalian mengucapkan salam lagi padanya.” (HR Abu Dawud).
  6. Banyak para ulama’ memperbolehkan seorang lelaki mengucapkan salam kepada seorang wanita, dan sebaliknya, selama aman dari fitnah, sebagaimana seorang wanita mengucapkan salam kepada mahramnya, maka wajib juga atasnya untuk menjawab salam dari mereka. Demikian halnya seorang laki-laki kepada mahramnya wajib atasnya menjawab salam dari mereka. Jika ia seorang ajnabiyah (wanita bukan mahram), maka tidaklah mengapa mengucapkan salam kepadanya ataupun membalas salamnya jika wanita tersebut yang mengucapkan salam, selama aman dari fitnah, dengan syarat tanpa bersentuhan tangan/jabat tangan dan mendayu-dayukan suara.
  7. Dari apa-apa yang tersebar di tengah-tengah manusia adalah menjadikan salam itu berbentuk isyarat atau memberi tanda dengan tangan. Jika seseorang yang mengucapkan salam itu jauh, maka mengucapkan salam sambil memberikan isyarat tidaklah mengapa, selama ia tidak dapat mendengarmu, karena isyarat ketika itu menjadi penunjuk salam dan tak ada pengganti selainnya, juga demikian dalam membalasnya.
  8. Dianjurkan bagi orang yang duduk mengucapkan salam ketika ia hendak berdiri dari majlisnya. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kalian mendatangi suatu majlis hendaklah salam, dan jika hendak berdiri seyogyanya juga salam, dan tidaklah yang pertama itu lebih berhak dari yang terakhir”. (HR. Abu Dawud)
  9. Disunnahkan berjabat tangan ketika salam dan memberikan tangannya ke saudaranya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah bertemu dua orang muslim kemudian berjabat tangan kecuali Allah akan mengampuni dosanya sebelum berpisah”. (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
  10. Menunjukkan wajah yang ceria, bermanis muka dan tersenyum ketika salam. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Senyummu pada saudaramu itu sedekah”, dan sabdanya pula “Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun hanya bermanis muka terhadap saudaramu”. (HR. Muslim)
  11. Disunnahkan memberi salam pada anak-anak sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya, dan yang demikian ini adalah suatu hal yang menggembirakan mereka, menanamkan rasa percaya diri dan menumbuhkan semangat menuntut ilmu di dalam hati mereka.
  12. Tidak diperbolehkan memulai salam kepada orang kafir sebagaimana dalam sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah mendahului Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, jika engkau menemui salah seorang dari mereka di jalan, desaklah hingga mereka menepi dari jalan”. (HR. Muslim) dan bersabda pula Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika ahli kitab memberi salam padamu maka jawablah dengan wa’alaikum” (mutafaq alaihi).
Maka hidupkanlah, wahai hamba Allah sunnah yang agung ini di tengah-tengah kaum muslimin agar lebih mempererat hati-hati kalian dan menyatukan jiwa-jiwa kalian serta untuk meraih ganjaran dan pahala di sisi Allah. Semoga salam dan shalawat senantiasa tercurahkan atas Nabi, keluarga beliau dan shahabat-shahabat beliau seluruhnya. Amin..

Dialihbahasakan dari buletin “Afsytus Salam Bainakum” -  Abdul Malik al-Qosim oleh Abu Salma al-Atsary.
Last modified on Tuesday, 28 December 2010 15:38
Kiat2 mempererat cinta suami 


Oleh: Fariq Gasim Anuz

Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi. Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut.

Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami, juga rajin shalat malam.
Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.

Berikut ini kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan cinta kasih antara suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.

Pertama.
Saling memberi hadiah
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda:
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai."
(HR. Bukhari dlm Adabul Mufrad, dihasankan oleh Syaikh al Albani)

Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.
Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang istri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh istrinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadiah meski sederhana.

Kedua.
Mengkhususkan waktu untuk duduk bersama
Jangan sampai antara suami istri sibuk dengan urusan masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk bersama. Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baaz. Ada seorang pemuda tidak memperlakukan istri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga meninggalkan istri dan anak-anaknya dalam waktu lama.

Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?
Syaikh bin Bazz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib atas suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik berdasarkan firman Allah:
"Pergaulilah mereka dengan baik." (QS. An Nisa':19)
Juga sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam kepada Abdullah bin 'Amr bin Ash, yaitu manakal sahabat ini sibuk dengan shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap istrinya, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam berkata:
"Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak." (Muttafaqun 'alaihi).

Banyak hadits yang menunjukkan adanya kewajiabn agar suami memperlakukan isteri dengan baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan isteri dengan baik, berlemah lembut sesuai dengan kemampuan. Apabila memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah, sehingga disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang. Kesimpulannya, adalah disyari'atkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku."
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam juga bersabda:
"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang tebaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian." (HR. Tirmidzi)
Sebaliknya, seorang istri juga disyari'atkan untuk membantu suaminya, misalnya menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor.
Hendaklah dia bersabar apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang memberikan waktu yang cukup kepada isterinya.
Berdasarkan firman Allah, hendaklah antara suami dan istri saling bekerjasama :
"Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa." (QS. Al Maidah :2)

Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya." (Muttafaqun 'alaihi, diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah)

Nasihat Syaikh bin Baaz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada istri pun untuk bisa bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Untuk para isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka.
Mungkin diantara sebab suami tidak kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam dan ketus apabila berbicara.

Ketiga.
Menampakkan wajah yang ceria
Di antara cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria. Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria." (HR. Muslim)

Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah bersabar.

Ada pertanyaan dari seorangb isteri yang disampaiakan kepada Syaikh bin Baaz, sebagai berikut:
Suami saya-semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak memiliki perhatian kepada saya sedikitpun. Jka di rumah, ia selalu berwajah cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya. Tetapi Allah lah yang mengetahui bahwa saya-alhamdulillah-telah melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka.
Saya selalu sabar atas tindakan-tindakannya terhadap saya.
Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika kepada teman-temannya, suami saya tersebut termasuk murah senyum. Sedangkan terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan rumah.

Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri, apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak merasakan problem saya ini?


Di jawab oleh Syaikh bin Baaz: "Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan.
Dan hendaklah berakhlak dengan akhlak yang mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:
"Pergaulilah mereka dengan baik." (QS. An Nisa:19)
Juga dalam surat Al Baqarah ayat 228:
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri." (QS. Al Baqarah :228)

Arti kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Kebaikan itu adalah akhlak yang baik." (HR. Muslim)
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Sedikitpun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria." (HR. Muslim)

Juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian." (HR. Tirmidzi)

Ini semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat. Oleh karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu. Saya berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang yang sabar.

Banyak ayat yang menunjukkan, barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada orang-orang yang sabar.
Tidak ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu. Tinggalkanlah tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan balasan yang baik, insya Allah.

Semoga Allah memberikan taufik kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada jalan yang lurus. (Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah).

Ini menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka menceritakan rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.

Sehubungan dengan permasalahan ini, Syaikh Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian wanita yang menceritakan keadaan rumah tangganya kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya, atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan. Tidak halal bagi seorang wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada seorangpun. Karena seorang wanita yang shalihah adalah yang bisa menjaga dan memelihara kedudukanmartabat suaminya. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah memberitakan, seburuk-buruk manusia kedudukannya disisi Allah pada hari Kiamat ialah seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan isterinya atau seorang wanita yang menceritakan keburukan suaminya.
Meski demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam pun ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan berkata: "Ya, Rasulullah. Suami saya adalah orang yang kikir, tidak memberi nafkah yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak saya?"
Mendengar penuturan orang ini, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam menjawab:
"Ambillah nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu." (Muttafaqun 'alaih)

Keempat.
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah ataupun ketika pulang. Penghormatan itu hendaklah dilakukan dengan mesra. Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.

Perbuatan sebagian orang ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat. Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya dihadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, isteri menyiapkan pakaian yang telah disetrika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.

Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan handphonenya mengirim sms atau sambl membaca Koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isterinya. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan "hal seperti ini saja dipikirkan!"
Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.

Kelima.
Hendaklah memuji pasangannya
Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk di puji- dalam batas- yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan, bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat: untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar As Siddiq radhiallahu amhu pernah di puji, dan dia berdoa kepada Allah: "Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui."
Perkataan ini juga di ucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau di puji-puji oleh seseorang dihadapan manusia. Beliau rahimahullah menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan: "Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja".
Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya dihadapan orang lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya dihadapan orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan dicela.

Keenam.
Bersama-sama melakukan tugas yang ringan
Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak benar.
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan terdapat dalam Jami'ush Shaghir.

Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.

Ketujuh.
Ucapan yang baik
Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan.
Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Seorang suami yang menegur isterinya karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan ucapa yang baik. (Nasihat untuk akhwat yg berkeluarga atau ibu-ibu. Hendaknya wanita mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Yang terjadi, umumnya berdandan dan mempercantik diri kalau mau keluar rumah, atau kalau ada walimah, misalnya. Sedangkan di rumah, ia enggan mempercantik diri dan tampil seadanya. Padahal berdandan dan mempercantik diri untuk keluar rumah hukumnya haram.)

Misalnya dengan perkataan "Mengapa engkau tidak memakai celak?" Isteri menjawab dengan kalimat yang menyenangkan: "Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku untuk melihat wajahmu".
Perkataan yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika ditegur, ia menjawab dengan kalimat yang menyenangkan. Berbeda dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan pernama, suami bertanya:"Tahukah engkau bulan purnama di atas?" Mendengar pertanyaan ini, sang isteri menjawab:"Apakah engkau lihat aku buta?"

Kedelapan.
Perlu berekreasi berdua tanpa membawa anak
Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi keruh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri. Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.
Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.

Kesembilan.
Hendaklah memiliki rasa empati pada pasangannya

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Perumpamaan kaum mukminan antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena penyakit demam." (HR. Muslim)
Ini berlaku secara umum kepada semua kaum muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring ditempat tidur, isteri tertawa-tawa disampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.

Kesepuluh.
Perlu adanya keterbukaan
Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.
Inilah sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami isteri, sehingga biduk rumah tangga tetap harmonis dan tentram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan keluarga.

Sumber:
http://assunnah-qatar.com/