Siapa Yang Menanam, Dia Yang akan Menuai
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji itu hanyalah milik Allah. Dialah zat yang telah menyempurnakan
nikmat-Nya untuk kita dan secara berturut-turut memberikan berbagai
pemberian dan anugerah kepada kita.
Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan untuk Nabi kita Muhammad,
keluarganya yang merupakan manusia pilihan dan semua sahabatnya yang
merupakan manusia-manusia yang bertakwa seiring silih bergantinya malam dan siang.
Kita pasti pernah mendengar peribahasa ini, "Siapa yang menanam, Dia yang akan menuai."
Maksudnya, jika seseorang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula.
Dan jika seseorang menanam kejelekan, maka ia akan menuai hasil yang jelek pula.
Berikut beberapa contoh dalam Al Quran dan hadits yang menceritakan maksud dari peribahasa ini.
1. Menjaga Hak Allah, Menuai Penjagaan Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengajarkan pada Ibnu Abbas
-radhiyallahu anhuma- sebuah kalimat,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
"Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu."[1]
Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan,
hak-hak, perintah, dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya
dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak
melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah).
Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari
batasan-batasan Allah. Yang utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu
yang wajib. Dan yang patut dijaga lagi adalah pendengaran, penglihatan dan
lisan dari berbagai keharaman. Begitu pula yang mesti dijaga adalah
kemaluan, yaitu meletakkannya pada yang halal saja dan bukan melalui jalan
haram yaitu zina.[2]
Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan,
maka ia akan mendapatkan dua penjagaan.
Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan
mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, "Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah,
maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan."
Sebagian salafmengatakan, "Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga
dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil
peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri.
Allah sama sekali tidak butuh padanya."
Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku
yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana
sebagian salaf mengatakan, "Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku
akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan
tungganganku."[3]
Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah
akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari
pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang
diharamkan.[4]
Semoga dengan menjaga hak-hak Allah, kita semua bisa menuai dua penjagaan
ini.
2. Berlaku Jujur, Menuai Kebaikan
Dari sahabat Abdullah bin Masud, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ
وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan
dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga.
Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia
akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan
dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka.
Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."[5]
Terkhusus lagi, beliau memerintahkan kejujuran ini pada pedagang karena
memang kebiasaan para pedagang adalah melakukan penipuan dan menempuh
segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifaah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu
alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan
transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, "Wahai para pedagang!"
Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ
اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
"Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti
sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada
Allah, berbuat baik dan berlaku jujur."[6]
Berlaku jujur juga akan menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud
keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan.
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى
يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ,
وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
"Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar)
selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling
terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi
tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi,
niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu."[7]
Inilah buah yang dipetik dari pedagang yang tidak berlaku jujur. Sedangkan
sebaliknya jika pedagang bisa berlaku jujur, maka ia pun akan menuai
berbagai kebaikan dan keberkahan.
3. Mudah Memaafkan dan Tawadhu, Menuai Kemuliaan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلاً بِعَفْوٍ
إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
"Sedekah tidak mungkin mengurangi harta. Tidaklah seseorang suka memaafkan,
melainkan ia akan semakin mulia. Tidaklah seseorang bersikap tawadhu
(rendah diri) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya."[8]
Seseorang yang selalu memaafkan akan semakin mulia dan bertambah
kemuliaannya. Ia juga akan mendapatkan balasan dan kemuliaan di akhirat.
Begitu pula orang yang tawadhu (rendah diri) karena Allah, ia akan
ditinggikan derajatnya di dunia, Allah akan senantiasa meneguhkan hatinya
dan meninggikan derajatnya di sisi manusia, serta kedudukannya pun akan
semakin mulia. Di akhirat pun, Allah akan meninggikan derajatnya karena
ketawadhuannya di dunia.[9]
4. Berperilaku Baik, Menjadi Teman Akrab
Allah Taala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا
إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar
dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai
keuntungan yang besar." (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- mengatakan, Allah
memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat
marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan
ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah
akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya.
Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah
laku baik semacam ini.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Namun yang mampu melakukan seperti ini
adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti
kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.[10]
5. Menolong dan Memudahkan Sesama, Menuai Pertolongan dan Kemudahan dari Allah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ
عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
"Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia,
Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat.
Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit,
Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutup 'aib seseorang, Allah pun akan menutupi 'aibnya di dunia dan akhirat.
Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya."[11]
Di antara bentuk pertolongan di sini adalah seseorang memberikan kemudahan
dalam masalah utang. Ini bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama,
memberikan tenggang waktu pelunasan dari tempo yang diberikan, ini hukumnya
wajib. Karena Allah Taala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
"Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan." (QS. Al Baqarah: 280). Cara kedua, dengan
memutihkan hutang tersebut, dan ini dianjurkan. Sebagaimana Allah Taala
berfirman,
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah: 280)
Berkebalikan dari sikap baik ini adalah mengenakan riba pada saudaranya
yang menunda utang. Ini adalah berkebalikan dari memberi kemudahan. Maka
tentu saja orang yang memberi kesulitan pada saudaranya akan menuai hasil
yang sebaliknya.
6. Usaha disertai Tawakkal akan Menuai Hasil
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu 'anhu berkata
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ , تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
"Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya
dalam keadaan kenyang."[12]
Burung ini melakukan usaha dan bertawakkal pada Allah,
akhirnya ia pun kenyang ketika pulang di sore hari.
Ini berarti tanpa usaha, tidak akan memperoleh hasil apa-apa. Dan usaha tanpa tawakkal,
hanya akan memperoleh sekadar yang Allah takdirkan. Yang tepat adalah usaha
disertai tawakkal, niscaya hasil memuaskan yang akan dituai.
7. Berbuat Curang, Menuai Berbagai Musibah
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ
وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
"Dan tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar dan menimbangm melainkan
mereka akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya hidup dan kelaliman para
penguasa."[13]
Dan sebab curang dalam perniagaaan inilah sebab dibinasakannya kaum Madyan,
umat Nabi Syuaib alaihis salam. Allah Taala memerintahkan pada kaum Madyan,
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ (181) وَزِنُوا
بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ (182) وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ
وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (183)
"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang
merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka
bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Asy Syuara: 181-183)
Jadi ingatlah, setiap yang kita tanam -baik kebaikan maupun kejelekan-,
pasti kita akan menuai hasilnya. Oleh karenanya, bersemangatlah dalam
menanam kebaikan dan janganlah pernah mau menanam kejelekan.
Para ulama seringkali mengutarakan,
"Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya.
Sedangkan balasan dari kejelekan adalah kejelekan setelahnya."[14]
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.
Referensi:
- Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf AnNawawi, Dar Ihya At Turots Al Arobiy, Beirut, cetakan kedua, 1392.
- Jaamiul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
- Tafsir Al Quran Al Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
Disempurnakan pada siang hari, 16 Muharram 1431 H di Panggang-Gunung Kidul.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Majalah Pengusaha Muslim, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id
Foot note :
[1] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[2] Lihat Jaamiul Ulum wal Hikam, hal. 223-224.
[3] Lihat Jaamiul Ulum wal Hikam, hal. 225-226.
[4] Faedah dari Jaamiul Ulum wal Hikam, hal. 224-226.
[5] HR. Muslim no. 2607.
[6] HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani dalam
Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi
(shahih dilihat dari jalur lainnya).
[7] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532.
[8] HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah.
[9] Al Minhaj Syarh Muslim, 16/141-142.
[10] Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 12/243.
[11] HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah
[12] HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310.
[13] HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani mengatkan bahwa hadits ini
hasan.
[14] Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim, 14/372 [Tafsir Surat Al Lail ayat 7]
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/siapa-yang-menanam-dia-yang-akan-menuai.html
No comments:
Post a Comment